21.12.11

Sukabumi Sareukseuk, Sukabumi Chaos !

Sekali dalam seminggu mengecap jalur jalan raya antara Benda/Cigombong hingga Gekbrong yang notebene berada di Wilayah Sukabumi baik kota maupun Kabupaten. Pengarungan jalur memang mengharuskan demikian akibat ladang tempat bekerja berada di sawah-sawah metropolitan Jakarta yang penuh dengan ‘bebegig-bebegig’ metropolis sementara keluarga berada dikota kelahiran. Dan karena kondisi pula yang kadang mengharuskan mengambil jalur Puncak demi kelancaran waktu tempuh perjalanan. Karena strategi atau korban akibat ‘pembangunan’ wilayah yang sporadis ?
Hal yang menarik sekaligus menyedihkan disepanjang jalur tersebut adalah jika kita perhatikan hampir sepanjang jalur tersebut penuh dan padat. Tidak saja kepadatan pada arus lalu lintas tetapi pada sekuens yang memenuhi kanan-kiri jalan.
Hampir semua bangunan tanpa terkecuali !
Mulai dari kawasan Cigombong hingga Gekbrong hampir tiada pemandangan yang cukup menyejukkan mata, sedianya pada masa kecil teringat kawasan Cigombong adalah hutan karet dengan beberapa pedagang Ge-Co disela-selanya. Lalu antara Cisaat-Cibadak hingga Cicurug masih banyak sekuen-sekuen pandangan yang bisa dilayangkan sejauh pandangan mata dengan hamparan sawah dan bukit diujung batasnya termasuk jajaran mahoni rindang atau pohon tanjung pada kanan dan kiri jalan, hal seperti ini juga termasuk dari Sukaraja hingga Gekbrong.
Tapi kini ? ... lenyap !


Atas nama pembangunan atau bahkan akibat kesemena-menaan aturan atau malah ketiadaan aturan serta penerapannya semua menjadi lenyap. Koridor jalan menjadi masif dengan berbagai tembok bangunan, gerbang-gerbang pabrik hingga baligo-baligo promosi. Dan tentu saja kondisi ini diperparah oleh kepadatan arus lalu lintas dan perilaku. Meski Sukabumi termasuk wilayah rural (pinggiran?) tapi diyakini ia sudah kehilangan identitas ke-rural-annya, salah satunya akibat hal ini.
Coba lihat kawasan Cianjur, meski diakui mereka cukup kerepotan menata wilayah Puncak, tetapi mereka masih sanggup memertahankan beberapa kawasan seperti Cugenang, Karang Tengah, Sipon atau bahkan sekitar Warung Kondang. Dan harus diakui, tata kota Cianjur dilihat dari perencanaan dan pelaksanaan sarana infrastruktur jauh lebih maju daripada Sukabumi, sekedar contoh coba perhatikan pembangunan jalan-jalan lingkar dalam kota di Cianjur.
Ini baru disandingkan dengan Cianjur, belum kota-kota pinggiran lainnya di Jawa Barat seperti Sumedang, Garut dll.
Pendatang luar kota kini mengenal Sukabumi layaknya kota-kota peripheral Jakarta lainnya seperti Depok, Bekasi atau Tangerang. Segalanya serba padat, tiada lagi peluang untuk menikmati keberadaan Sukabumi yang dulu terkenal dengan ke-asrian dan hawa gunungnya. Pendatang dari luar kini harus bersusah payah lebih masuk ke area yang lebih inferior untuk sekedar merasakan ke-Sukabumi-an, mereka harus menembus jalan-jalan desa di Kalapanunggal, Jampang hingga Pakidulan. Bahkan untuk kawasan seperti Cikidang pun kini telah penuh dengan tanaman-tanaman Sawit yg bukan ber-habitat di Sukabumi, kemana kebun-kebun teh dan pohon-pohon pinus itu ?

Bukan bermaksud menyalahkan pihak-pihak tertentu atau bahkan bermaksud menyalahkan jaman. Layaknya zetgeist bagi orang Jerman, kita justru telah kehilangan roh tersebut, semangat jaman kita sangat menghancurkan tanpa ada kesadaran komunal untuk lestari.
Dimana itu Gemah Ripah Loh Jinawi dan Reugreug Pageuh Repeh Rapih ?

Pada tingkatan pamong jauh panggang dari api, mereka terlalu sibuk dengan jargon-jargon. Mereka lebih senang busa-busa dimulut itu mengembang dengan indahnya. Sebatas menghasilkan aturan mereka merasa sudah berkarya, itu masih lebih baik meski kenyataannya mereka pula yang memangsa. Layaknya ular yang memangasa ekornya sendiri menuju kehancuran Ouroboros !

Lalu pada tingkatan warga, warga perlu amongan, perlu bukti bila sangat perlu kanon-kanon yg tegas agar warga selaras dengan pamong, agar warga bahu membahu dengan pamong, akibat kehilangan amat sanagt tersebut perilaku menjadi sesat dari nilai. Lihatlah perilaku amuk antar warga hingga perilaku dijalan raya, ... kita bukanlah piranha bagi sesama !

Cecarkan pandangan mata ke sekeliling juga pandagan hati kedalam, yang terjadi adalah amuk kehendak, amuk kehendak pamong juga warga. Layaknya singa-singa pemburu yang mengoyak-ngoyak rusa buruan yang tidak berdaya, cabikan dimana-mana sehingga daging makin menipis tinggal tulang. Lalu mau kemana kehendak selanjutnya bila Sang Rusa sudah binasa ?

Matilah jargon-jargon itu karena yang diperlukan kejujuran, kejujuran yang dimulai atas niat, karsa dan karya dari kita.
Binasalah kehendak-kehendak lacur itu karena yang diperlukan hanyalah keluhuran, keluhuran yang dimulai atas niat, karsa dan karya.

Meski mungkin terlambat, masih ada harap untuk berteriak ;

KEMBALIKAN SUKABUMI-KU !

jakarta desember 2011
sumber foto : pikiran-rakyat.com

20.12.11

Sukabumi - Asalnya


Nama 'Soekaboemi' sebenarnya telah ada sebelum hari jadi Kota Sukabumi yaitu 13 Januari 1815. Kota yang saat ini berluas 48,15 km2 ini asalnya merupakan sebuah dusun bernama Goenoeng Parang dan berkembang menjadi suatu wilayah yang terdiri dari beberapa kampung bernama Cikole dan Paroeng Seah, hingga seorang ahli bedah bernama Dr. Andries de Wilde menamakan Soekaboemi. Perlu diketahu Andris de Wilde ini juga adalah seorang Preanger Planter (kopi dan teh) yg bermukim di Bandoeng, dimana eks rumah tinggal dan gudang kopinya sekarang dijadikan Kantor Pemkot Bandung. Awalnya ia mengirim surat kepada kawannnya Pieter Englhard mengajukan permohonan
kepada pemerintah untuk mengganti nama Cikole (berdasar nama sungai yg membelah kota Sukabumi) dengan nama Soekaboemi pada 13 Januari 1815. Dan sejak itulah Cikole resmi menjadi Soekaboemi.

Etimologi (asal kata) dan Toponimi (asal muasal penamaan suatu daerah) Soekaboemi berasal dari bahasa Sunda soeka-boemen yang bermakna udara sejuk dan nyaman, sehingga mereka yang datang tidak ingin pindah lagi karena suka dengan kondisi alamnya. Namun, bukan berarti hari jadi Kota Sukabumi jatuh pada tanggal tersebut. Ceritanya memang tidak singkat, bermula dari komoditas kopi yang banyak dibutuhkan VOC, Van Rie Beek dan Zwadecroon berusaha mengembangkan lebih luas tanaman kopi di sekitar Bogor, Cianjur, dan Sukabumi. Pada tahun 1709 Gubernur Van Riebek mengadakan inspeksi ke kebun kopi di Cibalagung (Bogor), Cianjur, Jogjogan, Pondok Kopo, dan Gunung Guruh Sukabumi. Dan inilah salah satu alasan dibangunnya jalur lintasan kereta-api yg menghubungkan Soekaboemi dengan Buitenzorg dan Batavia di bagian barat dan Tjiandjoer (ibukota Priangan) dan Bandoeng di timur. Untuk lebih memudahkan pengangkutan hasil-hasil bumi tersebut ke Batavia untuk “diekspor” lewat pelabuahn Sunda Kelapa.

Saat itu, de Wilde adalah pembantu pribadi Gubernur Jenderal Daendels dan dikenal sebagai tuan tanah di Jasinga Bogor. Pada 25 Januari 1813, ia membeli tanah di Sukabumi yang luasnya lima per duabelas bagian di seluruh tanah yang ada di Sukabumi seharga 58 ribu ringgit Spanyol. Tanah tersebut berbatasan dengan Lereng Gunung Gede Pangrango di sebelah utara, Sungai Cimandiri di bagian selatan, lalu di arah barat berbatasan langsung dengan Keresidenan Jakarta dan Banten dan di sebelah Timur dengan Sungai Cikupa (daerah Gekbrong saat ini).

Pada 1 April 1914, Sukabumi diangkat statusnya menjadi Gemeente. Alasannya, karena di kota ini banyak berdiam orang Belanda dan Eropa pemilik perkebunan (Preanger Planters) di daerah Selatan dan harus mendapatkan kepengurusan dan pelayanan yang istimewa. Lagipula pada tanggal yang sama 354 tahun yang lalu, Belanda bangga memenangkan perang melawan Spanyol. Itulah mengapa tanggal 1 April dijadikan ulang tahun Kota Sukabumi.

Kemudian 1 Mei 1926 pemerintahan kota dibentuk dan diangkat Mr. GF. Rambonet sebagai Burgemeester (wali kota) pertama di Sukabumi.
Dan perlu diketahui, ‘pemerintahan’ Kaboepaten tetap berjalan berdampingan dengan Gementee, dimana Kaboepaten dengan Boepati Soerya Baratakusumah sebagai Boepati pertama dan RAA. Soeria Danoeningrat sebagai Boepati berikutnya bertugas sebagai pemerintahan sekaligus ikon masyarakat lokal, dimana Boepati bertanggung jawab kepada Resident Priangan yang saat itu berkedudukan di Tjiandjoer.

*Disusun dari berbagai sumber tulisan dan lisan oleh : Penulis
** Tulisan ini juga merupakan prolog dalam Grup/Komunitas SOEKABOEMI HERITAGES
1. http://www.facebook.com/group.php?gid=47366719195
2. http://www.facebook.com/groups/soekaboemiheritages/

Masyarakat Limbo !

...
Apa yang menjadi pokok pemikiran dari tulisan Bre Redana yang dimuat di Kompas edisi Jumat 9 Desember 2011 merupakan bentuk keprihatinan yg sudah jauh didengung-dengungkan sebagai kritik pada awal masa perkembangbiakan postmodernisme pada paruh ketiga abad 20. Nietzche bahkan telah jauh-jauh sebelumnya memalu kemapanan modernitas dengan keyakinan mbalelo yg dinilai khalayak cenderung pesimis. Dan dalam rentang waktu itu pula kritisme akan kondisi kemasyarakatan muncul, entah itu Habermas, Derrida dan Foucault yang menyorotinya melalui teks, Baudrillard lewat simulakra-nya hingga Delleuze & Guattari juga Venturi dan Libeskind melalui kacamata arsitektur. Dan dalam ranah skolarisme lokal kitapun mengenal Yasraf Amir Piliang dan Bambang Sugiharto yang memiliki kekhawatiran yang sama atas itu semua.
Dipikir kondisi pasca-modern (postmodernitas) sudah selesai di Indonesia pasca lepas milenium kemarin, nyatanya ia beranak pinak dan menggurita dalam relung kemasyarakatan. Betapa tidak, kondisi masyarakat indonesia yang cenderung transisional antara tradisional-modern, mudah goyah dan bahkan mudah terjebak dalam limbo kontemporaritas. Masyarakat kita adalah bentuk nyata anomali yang mengendap lama dalam permukaan bejana kebudayaan global. Ia merupakan bentuk anomali yang sebetulnya justru mudah sekali goyah disaat yang lain kuat ketika bejana digoyangkan. Ia terbelakang tapi ia cerdas, ia kaya tapi ia miskin dan ia latah tapi terlalu percaya diri !
Kondisi seperti inilah rupanya yang termanfaatkan oleh kita sendiri melalu kebebalan kehendak dan dimanfaatkan oleh tentakel-tentakel kapitalisme disaat kita sendiri justru sadar bahkan cenderung chauvanistik.
Tidak usah jauh-jauh, budaya plesetan adalah juga bentuk kenyinyiran sebagian masyarakat kita akan kontemporaritasnya sendiri. Begitu banyak masyarakat kita yg bangga akan kesamaan bentuk tanpa ia mengerti isi atas nama modernitas berjamaah. Sejatinya ini merupakan ciri dari salah satu kondisi posmodrnitas yang melulu menampilkan kecintaan akan kulit luar dengan menapikan hakekat.
Rupanya masyarakat kita tidak pernah beranjak, malah ia semakin terjebak...
Lalu sampai kapan ia bisa tersembuhkan atau sekedar terjaga benar? ... kecarut-marutan sistem kehidupan (baca : bernegara) adalah salah satu hulunya, hal ini pula yang diamini oleh Bre Redana. Kecarut marutan yang terjadinya ini jelas memberikan efek luar biasa dalam pencarian posisi kemasyarakatan kita yang pada akhirnya masyarakat (semua golongan) secara sadar tidak sadar mencari sendiri kejatidiriannya (status). Dan sistem kapitalisme (dan teknologi?) melalui barang juga pasar mengobati dahaga itu semua, dahaga akan kejatidirian !

Sungguh kita semua tersesat dalam limbo...
Menjadi Masyarakat yang gentayangan diantara realitas dan hiperealitas...
Selalu tersesat dan terjebak...

*prolog/pengantar pribadi untuk mengantar tulisan dibawah yg dimuat KOMPAS halaman 45 Edisi Jumat Desember 9, 2011

Hiperkonsumerisme, Hiperteks, Hipermedia

Oleh BRE REDANA
Apakah Anda bangga bangsa ini menempati urutan atas pengguna jasa komunikasi maya? Sebagai pengguna Facebook terbesar kedua di dunia, terbesar ketiga untuk Twitter. Pengguna telepon seluler meningkat pesat dari tahun ke tahun. Lalu, sejumlah orang terinjak-injak ketika mengantre Blackberry yang dijual separuh harga di Pacific Place, Jakarta.
aya sama sekali tidak bangga, bahkan prihatin. Kemajuan teknologi komunikasi telah sampai pada suatu paradoks: dia memisahkan, bukan menghubungkan. Benar, dia menghubungkan seseorang dengan mereka yang jaraknya jauh dari lingkungan fisik-sosial. Hanya saja, sebaliknya pada saat bersamaan orang itu tercerabut dari ruang sosial di mana secara fisik kita semua hadir.
Bercampur dengan semangat hiperkonsumerisme, manusia-manusia yang telah kehilangan kesadaran atas ruang dan waktu (dalam bahasa lebih filosofis mikrokosmos-makrokosmos) mengalami apa yang diistilahkan Benjamin Barber sebagai civic schizophrenia alias kegilaan warga.
Inikah yang dalam perbendaharaan lama disebut zaman edan? Pergeseran manusia dalam menghayati ruang dan waktu—yang secara eksistensial berarti bergesernya penghayatan atas makna hidup—terungkap dalam seluruh praktik kehidupan kita. Dari kehidupan pribadi sehari-hari di ruang privat sampai ke kehidupan sosial, termasuk di dalamnya dinamika politik.
Popularitas seorang pemimpin diukur lewat jajak pendapat menggunakan perangkat komunikasi masa kini yang disebut gadget. Di sana, politik menjadi bagian ”waktu luang” atau leisure dalam teori Thorstein Veblen atau free time dalam istilah Theodor Adorno.
Politik waktu luang adalah politik orang-orang iseng kelas menengah, kebanyakan waktu, kehilangan kontak dengan rakyat kecil yang banting tulang tak punya waktu luang. Realitas sosial tergantikan realitas maya dan terefleksikan dengan sempurna oleh televisi. Apa yang ada di televisi itulah realitas.
Kedermawanan presiden dan perhatiannya kepada rakyat kecil, misalnya, ditunjukkan lewat televisi dengan bagaimana ketika presiden mantu rakyat diperbolehkan ikut menikmati resepsi lewat layar lebar yang dipasang di lapangan. Perhatian presiden terhadap seni budaya ditunjukkan dengan presiden bergitar, menciptakan lagu.
Media massa kita, terutama media elektronik, menjadi penyokong utama dari apa yang kemudian diistilahkan para ahli sebagai politik pencitraan. Mereka menciptakan impresi instan, bukan pencatatan sistemis tentang kinerja.
Semua orang sadar betul mengenai hal itu sekarang. Maka, pidato di televisi, gaya rambut, model baju seragam, dan motif batik lebih penting daripada upaya sistemis menyelesaikan pekerjaan. Ini bukan hanya berlaku untuk kalangan politik. Pekerja perusahaan swasta juga dianggap sudah berprestasi jika bisa memberi impresi mengenai apa yang dikerjakan lewat presentasi dibantu program Power Point. Kinerja semu? Mungkin saja, soalnya ada buku yang topiknya lebih kurang: real CEO doesn’t use Power Point. Dia memilih memberi kacang ijo biar menu rakyat lebih bergizi.
Makna lebih jauh dari politik pencitraan adalah politik yang kehilangan kontak dengan realitas. Serupa dengan modus komunikasi zaman ini: orang terhubung dengan mereka yang jauh, tetapi terputus dengan ruang sosial secara fisik. Realitas fisik jadi kedodoran.
Untuk urusan pribadi, Anda silakan merefleksikan hubungan Anda sendiri dengan orang-orang terdekat. Menyebar wabah defisit atensi. Untuk lingkup sosial lebih luas, silakan lihat penelantaran kesejahteraan rakyat. Rakyat tambah miskin, murid-murid SD belajar di bangunan serupa kandang kambing, jembatan runtuh, dan seterusnya.
Apa yang dibanggakan?
Cukup banyak yang menyoroti konsekuensi digitalisasi kehidupan sekarang. Salah satunya, Nicholas Carr lewat buku The Shallows (2010). Anda bisa mengetahui di sana bagaimana internet mengubah cara kita berpikir, membaca, dan mengingat.
Di sana, dia membandingkan dua cara membaca. Pertama, membaca teks secara linear. Ini terjadi saat membaca buku, koran, atau majalah. Yang kedua, membaca teks secara berlapis-lapis atau diistilahkan hiperteks. Ini seperti ketika membaca lewat layar komputer, cara scrolling memungkinkan kita membaca berbagai teks secara bersamaan. Yang terakhir itulah yang ditawarkan teknologi multimedia atau lebih lanjut menjadi hipermedia.
Berbagai hasil penelitian dikutip di sana. Yang paling menonjol, ternyata penyerapan orang dalam pembacaan hiperteks jauh lebih rendah daripada pembacaan secara linear. Para dosen perguruan tinggi tempat penelitian dilakukan mengakui, para mahasiswa tidak betah berfokus pada satu hal. Perhatian dan fokus terus berpindah-pindah. Para peneliti menyimpulkan, teknologi multimedia tampaknya lebih membatasi daripada meluaskan kesanggupan seseorang mengakuisisi informasi.
Kita memiliki cognitive load—mungkin bisa diterjemahkan sebagai muatan kognitif? Kalau kebanyakan informasi yang mengalir ke sana melebihi muatan kognitif, maka seperti air, air akan tumpah. Kita tak sanggup memerangkap informasi itu atau menarik hubungan dengan informasi lain yang telah tersimpan sebelumnya di memori. Dengan kata lain, informasi hanya berseliweran, tak nyangkut di memori, apalagi membentuk pengetahuan koheren.
Maka, tidak banyak orang sekarang mampu berpikir koheren. Yang dikuasai cuma informasi sesaat. Itu yang secara cerdik diindustrikan media, menjadi komoditas laris bernama gosip. Yang disebut analisis politik sekarang sebenarnya rekonstruksi gosip. Di sini, sebenarnya media cetak harus ambil peranan. Dia diharapkan mempertahankan sivilisasi.
Yang dibangga-banggakan orang dengan multimedia sekarang—di mana orang katanya bisa melakukan beberapa pekerjaan sekaligus (multitasking)—sebenarnya ”terampil pada tingkat superfisial”. Ingat kata-kata filsuf Roma, Seneca, sekitar 2.000 tahun lalu: berada di mana-mana berarti tidak di mana-mana.
Ketergesa-gesaan, ketergopoh- gopohan, adalah ciri masyarakat masa kini. Munculnya jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter, mengakselerasi ketergopohan itu. Mereka menekankan pada kesegeraan dengan istilah yang dikenal para penggunanya sebagai status update. Kalau perlu, barusan buang angin pun diberitahukan ke seluruh dunia. Untuk bisa selalu update, orang terus-menerus memelototi Blackberry.
Apanya yang harus dibanggakan dengan itu semua?

... rehat lah !

...
ketika segala telah berlaku lebih
rasa menjadi murka
hidup menuju redup nyatanya
kesombongan menerjang waktu
kemana luhur nilai ?
tersapu ?

pengejaran kepala waktu
melindas, menindas sejatinya akar pikir dan hakikat
melebamlah akhirnya
bila terluang untuk dicerna
ia terseok
tertinggal
jauh di belakang

...

maka bebal adalah kita
maka tuli adalah kita
meski jauh dari bisu, semakin keras berbicara
meski tidaklah buta, semakin gelaplah mata hati

tiada kamu tiada ia tiada mereka
kita

namun,
bila bumi berbicara atas nama Tuhan

ketulian
kebutaan
sirna

membisu
mengecil
kita

...

kembali mencari arti