6.6.08

Panoptisme Dalam Arsitektur Institusional











Stones can make people docile and knowable...

Michel Foucault

 

I.       PENDAHULUAN

Kesetaraan relasi fungsional  pengguna atau penghuni (user) terhadap ruang dan bentuk arsitektur mengalami perjalanan yang panjang dalam ruang sejarah perkembangan arsitektur. Ketika arsitektur mengalami fraktalisasi  konsepsi ke-ruang-an dan bentuk, dimana arsitektur mulanya merupakan sebuah wilayah kreatif-pragmatik dalam menciptakan wadah (container) aktifitas manusia yang (hanya) memiliki muatan fungsional dan estetik, berkembang menjadi sebuah wilayah kreatif-semantik yang menjadi sarana bagi ilmu-ilmu lain maupun kepentingan -kepentingan lain dan cenderung tendensius, hal ini tidak lain karena arsitektur telah berkembang menjadi sebuah ilmu pengetahuan dan memposisikan dirinya dalam sebuah wilayah yang dinamakan dengan ilmu terapan. Sejauh apapun arsitektur berkembang dan bertendensi, tuntutan akan hakikat serta fungsi dasar (ma'rifat) arsitektur selalu menyertainya yaitu tuntutan akan 'ruang yang terbentuk' serta 'bentuk yang menempati ruangnya', termasuk tuntutan terhadap definisi keduanya sebagai pembentuk terminologi arsitektur keseluruhan.

Dalam ruang dan bentuk arsitektur, bagaimanapun manusia meng-interpretasi-kannya, terdapat jalinan relasional yang tidak hanya bisa dipandang dari satu perspektif semata. Relasi dalam ruang dan bentuk sedikit banyak telah memberikan identitas dan posisi bagi arsitektur. Nilai pakai maupun nilai guna ruang dan bentuk yang semula merupakan 'container' bagi suatu aktifitas maupun fungsi (contain), kini bisa ditinjau sebagai 'medium' tempat relasi-relasi dalam kehidupan manusia berlangsung, sekaligus sebagai pemicu tendensi-tendensi dalam masyarakat, dalam bidang sosial, ekonomi, politik kekuasaan dan lain sebagainya.

Selanjutnya interpretasi mengenai ruang dan bentuk arsitektur akhirnya tidak akan pernah lepas dari keterkaitannya dengan konteks atau konsepsi tersebut, seperti konsepsi mengenai 'ruang-ruang sosial', 'ruang-ruang ekonomi', 'ruang-ruang politis', dan lain-lain, sehingga ruang dan bentuk tidak lagi merupakan wujud arsitektur semata melainkan mengalami perluasan baik dari segi makna maupun tanda yang erat kaitannya dengan interpretasi mengenai nilai guna dalam arsitektur.

 

II. PANOPTISME

II. 1  Konsep Panopticon Dalam Semangat Utilitarianisme

Panopticon - sebuah gagasan dalam desain arsitektural untuk sebuah penjara empat lantai dengan bentuk sel yang melingkar sekaligus memusat terhadap sebuah menara kontrol yang diajukan pertama kali pada tahun 1787 oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Konsep utama dari desain penjara ini adalah efisiensi dan optimasi  pengawasan searah (dari ruang kontrol terhadap sel) yang diterjemahkan secara pragmatis dalam arsitektur penjara. Sesuai dengan latar belakang Bentham sebagai seorang ahli hukum dan politik sekaligus juga sebagai seorang filsuf (dan arsitek) penganut Utilitarianisme - sebuah pemikiran yang menggali hakekat kebenaran dari nilai guna - konsep Panopticon ini dengan jelas memperlihatkan nilai guna dari hukum yang direpresentasikan secara pragmatis dalam arsitektur penjara. Desain selanjutnya muncul pada tahu  1791 dengan bentuk yang relatif sama dan hanya memiliki perbedaan yang signifikan dalam jumlah lantai, dimana desain yang terakhir ini memiliki enam lantai. Model Panopticon ini kemudian menjadi salah satu dasar dari berbagai bentuk serta model penjara yang muncul selanjutnya termasuk dalam varian-varian kombinasinya.

Berlawanan dengan konsep penjara bawah tanah yang gelap dan tersembunyi yang banyak dipakai pada masa tersebut dan sebelumnya, konsep panopticon justru mengedepankan kemungkinan individu (tahanan) untuk terlihat setiap waktu pada posisinya oleh pengamat yang berada dalam menara pengawas. Konsep ini diperkuat dengan pemakaian unsur cahaya yang digunakan Bentham dalam desainnya sebagai sebuah elemen kontrol visual dengan menggunakan sistem sinar balik - bayangan individu (tahanan) dapat memberikan indikator pertama bagi pengawas. Sehingga melalui mekanisme seperti itu pengawas dapat terus menerus melakukan pengawasan terhadap individu-individu dan tanpa pernah individu-individu tersebut merasa diawasi (karena persepsi pengawasan yang permanen)  dan balik mengawasi.

Penghuni Panopticon (tahanan) dipantau tanpa ia sendiri tahu siapa yang mengawasi dan dalam bentuk bagaimana ia diawasi. Para penghuni ini telah dijadikan obyek informasi dari pada sebagai bagian dari subyek komunikasi. Artinya bahwa para penghuni (tahanan) tidak dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya melainkan hanya dengan para pengawas walaupun hanya sebagai obyek komunikasi. Sehingga dengan demikian semua bentuk kemungkinan dari kekacauan yang mungkin bisa ditimbulkan para tahanan dan antar mereka sendiri dapat dicegah secara ketat.

 

II. 2  Panoptisme Sebagai Sistem Kuasa dan Kontrol

Yang dimaksud dengan Panoptisme menurut Michel Foucault adalah suatu model penerapan teknik disiplin -baik metode maupun sarana-sarananya   - yang keras dan ketat menurut model arsitektural Panopticon gagasan Jeremy Bentham. Istilah Panoptisme tersebut digunakan dalam membaca (mengkritik) keberadaan sistem kendali ketat dan penuh terhadap tubuh atau individu yang diterapkan pada fungsi penjara, sekolah, tempat kerja dan rumah sakit -termasuk secara arsitektur- dalam bagian ketiga buku 'Discipline and Punish - The birth of prison' yang pertamakali ditulis dalam teks Perancis pada tahun 1975 dengan judul 'Surveiller et Punir - Naissance de la Prison' . Untuk selanjutnya istilah Panoptisme dapat diartikan sebagai sebuah bentuk pemahaman dan pemikiran yang mengutamakan penyebaran pengendalian dan kontrol ketat yang bersumber dari pusat kekuasaan (dalam pembagian ruang-ruang fisik maupun non fisik), termasuk hegemoni dalam hirarki masyarakat yang digunakan dengan alasan untuk pencapaian tujuan utama dalam hidup bermasyarakat termasuk didalamnya ketertiban hukum dan disiplin.

Dampak utama dari panoptisme menurut Foucault adalah bahwa kuasa berfungsi secara otomatis, artinya dalam panoptisme individu-individu yang tinggal dalam berbagai fungsi institusional senantiasa menjadi sadar bahwa dirinya terus menerus diawasi sehingga mereka pada akhirnya menaruh beban maupun tekanan pada dirinya sendiri. Sebagaimana prinsip 'visible' dan 'inveryfiable' dari Panopticon, individu senantiasa diposisikan dalam pemantauan tetap (permanen) dan individu tidak pernah tahu kapan saja dan oleh siapa saja ia diawasi, kecuali ia sendiri tahu dan bisa memastikan bahwa ia diawasi terus-menerus. Dengan demikian Panoptisme ini menampilkan ketidaksimetrisan (irreversible) kekuasaan tanpa mempertunjukan eksesifitas kekuasaan itu sendiri secara langsung - misalnya parade maupun defile seperti yang dilakukan dalam institusi kemiliteran.

 

Pembagian maupun pembatasan  'ruang-ruang' tubuh maupun individu (fisik maupun non-fisik) utamanya dalam konteks komunikasi di dalam penyelenggaraan institusional yang panoptik disini, dibaca sebagai sebuah usaha untuk melenyapkan 'kekacauan' yang mungkin terjadi yang diakibatkan oleh obyek Panoptisme itu sendiri. Panoptisme dimaksudkan sebagai sebuah model usaha dari fungsi institusional yang menentukan relasi-relasi kuasa di dalam kehidupan sehari-hari setiap individu, diantaranya adalah melalui penyebaran dalam ruang-ruang spasial. Sehingga dengan demikian Panoptisme menjadi sebuah bentuk teknologi politis yang harus dilepaskan dari penggunaan yang tendensius.

 

 

II.3. Panoptisme Dalam Arsitektur : Arsitektur Sebagai Media Kuasa Melalui Tipe dan Program

Panoptisme dapat dikatakan sebagai bentuk sinergi maupun relasi yang bertujuan menerapkan fungsi kontrol secara ketat dari realitas sistem (sosial, hukum, politik, ekonomi) dalam realitas fisik (arsitektur). Thomas A. Markus  menggambarkan bahwa pada kenyataannya arsitektur (ruang dan bentuk) telah secara sadar maupun tidak telah mempengaruhi keberadaan individu dan masyarakat  sebagai sebuah pencerminan kekuasaan sistem kontrol maupun pengendalian dari pihak-pihak tertentu. Kekuasaan yang muncul tersebut bisa disadari maupun tidak, telah menjalar termasuk dalam atau melalui arsitektur. Dalam hal ini bentuk kekuasaan dalam arsitektur bisa dibaca sebagai sebuah pengendalian terhadap pengguna arsitektur sebagai pihak yang terlibat dalam sebuah sistem - kekuasaan dalam arsitektur. Pihak-pihak ini bisa dilihat pada posisi radikalnya sebagai tahanan, biarawan, bahkan hingga pengunjung museum atau orang-orang yang berbelanja pada sebuah gedung tertentu. Secara sederhana, Markus menggambarkannya dengan sebuah skema yang terdiri dari empat buah konfigurasi denah dari empat tipe denah yang sama - bujur sangkar dengan modul ruang tiga kali tiga. Namun Markus memberikan bukaan yang masing-masing berbeda sehingga sebuah ruang yang sama dari masing-masing konfigurasi memiliki kedudukan ataupun hirarki yang berbeda dalam konteks pengendalian maupun aksesibilitas.

Panoptisme dalam arsitektur berangkat dari motif dengan  kesadaran penuh (concious) maupun tanpa sadar (unconcious) dari pihak yang memiliki kekuasaan maupun kontrol atas ruang-ruang maupun bentuk yang tersebar. Artinya sebuah relasi sistem dengan realitas fisik arsitektur yang panoptik dalam kondisi sadar (concious) bisa dinyatakan dalam fungsi penjara, rumah sakit, rumah sakit jiwa, barak militer dan lain-lain. Kesadaran terhadap kebutuhan maupun penerapan panoptisme dimungkinkan karena karakteristik fungsi yang memerlukan sistem pengawasan ketat dimana fungsi memiliki relasi maupun indikasi dengan masalah maupun isu yang menjadi prioritas dari fungsi tersebut (keamanan, kesehatan dan lain-lain dalam konteks mempertahankan hidup).

Dalam kondisi penerapan panoptisme tanpa sadar (unconcious) pada arsitektur, keperluan terhadap sistem pengawasan ketat (eksesif) seharusnya bukan menjadi prioritas lagi karena hal ini dimungkinkan adanya hakekat dari fungsi itu sendiri sebagai sebuah prioritas yang seharusnya terlebih dahulu direspon termasuk oleh arsitektur. Keberadaan serta realitas  panoptisme yang (akhirnya) menjadi prioritas utama secara institusional (sosial, politik maupun ekonomi) dan secara arsitektural (fisik) lebih dimungkinkan karena berbagai alasan diantaranya feodalisme kultur, ideologi maupun kepentingan sepihak. Contoh yang jelas adalah fungsi sekolah, dalam sebuah fungsi sekolah hakekat utama bukanlah pengawasan dan disiplin yang dinyatakan melalui keseragaman baik tindakan maupun aksesori (visual) dan penempatan ruang-ruang kontrol (ruang guru, ruang administrasi, piket serta ruang bersama) terhadap ruang-ruang kelas yang berjajar maupun memusat, tetapi yang diutamakan adalah hakekat dari fungsi sekolah sebagai fungsi pendidikan dan pembelajaran dimana selain sebagai ruang maupun tempat terjadinya proses alih ilmu pengetahuan adalah juga sebagai ruang dan tempat pembelajaran budi pekerti dalam konteks besar pencerdasan kehidupan manusia, selain sebagai model dari sosialitas. Kondisi demikian terjadi secara kritis utamanya dalam paras sekolah menengah, baik yang dikelola pemerintah maupun swasta. Sedangkan ruang dan tempat terjadinya panoptisme secara unconcious yang lain dan cenderung eksesif adalah fungsi kantor, pabrik, lingkungan perumahan hingga fungsi kota secara keseluruhan.

Pelibatan atau tendensi kekuasaan dan kontrol dalam arsitektur seperti yang telah diuraikan memiliki dimensi yang tersembunyi pada paras awalnya yang kemudian akan terasa hadir bila tendensi tersebut terwujud secara langsung maupun tidak dalam sebuah desain. Secara sederhana seperti yang telah digambarkan oleh Markus, bagaimana sebuah fungsi museum didesain sedemikian rupa untuk menghadirkan pengalaman apresiatif terhadap pengunjung akan benda maupun obyek yang dipamerkannya, tetapi yang menjadi sorotan Markus adalah ketika unsur ‘paksaan’ terhadap pengguna (pengunjung) muncul dalam sebuah desain museum melalui sekuen-sekuen yang telah ditetapkan dan serial koridor maupun galeri. Lanjut Markus, tendensi seperti itulah yang bisa muncul dalam tipe (tipologi) desain museum yang muncul dalam program yang disusun sebelumnya. Contoh seperti itu terulang dengan jelas pada sebuah kawasan perbelanjaan dan termasuk fungsi pendidikan.

Apa yang diungkapkan Markus adalah bentuk tendensi maupun agenda yang muncul secara langsung pada program dan seringkali tidak terasa dan secara langsung dianggap sebagai sebuah tuntutan fungsional. Tetapi yang menjadi pertanyaan apakah desain museum harus selalu seperti itu ? selalu terpaku kepada program tertentu dan menghasilkan bentuk (tipe) tertentu juga ?

Dalam konteks diatas, apa yang menjadi tendensi maupun usungan (muatan, agenda) adalah bentuk-bentuk yang secara umum hadir berkaitan dengan fungsi dalam perspektif (paham, mazhab) tertentu baik disadari maupun tidak sehingga meskipun terdapat tendensi, kesetaraan fungsional dan bentuk dalam arsitektur masih dapat terlihat. Lebih jauh lagi adalah ketika muncul tendensi maupun usungan yang tidak memiliki kaitan sama sekali dengan arsitektur, sehingga bukan kesetaraan yang muncul melainkan pemboncengan arsitektur. Contohnya adalah bagaimana sebuah sistem politik pada suatu masa mempengaruhi arsitektur pada masa itu.

Dari semua uraian mengenai ranah arsitektur yang memiliki potensi besar untuk dimuati oleh kekuatan lain diluar arsitektur dapat disimpulkan bahwa prosedur programatik memiliki kecenderungan terbesar termasuk ketika tuntutan akan bentuk juga hadir menyertainya atau sebagai produk akhirnya. Dengan kata lain posisional antara programatik serta tipe tidaklah selalu saling berkaitan dan beriringan, suatu waktu bisa saja tipe dan bentuk menjadi tututan utama yang pada kahirnya mendikte atau bahkan meniadakan program itu sendiri.

 

II.4.  Panoptisme Dalam Arsitektur Institusional Sebagai Salah Satu Bentuk Dominasi Rasio Terhadap Tubuh, Roh dan Ruang.

Penguasaan ruang obyektif (modernisasi arsitektur dan bukan arsitektur modern) mengalami penguatan seiring ketika arsitektur itu sendiri dilembagakan sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan. Walaupun secara epistemologi  arsitektur termasuk ilmu pengetahuan terapan - ilmu turunan dari ilmu murni (sains) - arsitektur terjebak ke dalam epistemologi ilmu pengetahuan yang cenderung mengklasifkasikan dan memilah obyek yang akan dipelajari dalam determinasi dan reduksi. Hal ini berkembang pesat pada ilmu mengenai arsitektur pasca Beaux Arts dan Bauhaus (arsitektur modern). Louis Kahn -sebagai seorang tokoh modern dalam arsitektur - menyatakan bahwa arsitektur adalah mengenai perubahan ruang dari tak terukur menjadi terukur, pernyataan yang cenderung memposisikan diri dalam wilayah Newtonian dan sangat kental dengan semangat sains-modern yang sangat rasional . Pembelajaran arsitektur dalam sebuah lembaga diarahkan berdasarkan ideologi-ideologi yang berpengaruh pada waktu tersebut, termasuk ketika arsitektur modern berkembang pada saat yang bersamaan dengan pesatnya perkembangan sains (awal abd XX). Sebagaimana layaknya sains yang bekerja pada wilayah empiris, rasional dan positivis -dimana segala sesuatu yang menjadi obyek sains harus bisa dibuktikan- arsitektur modern berangkat dari rasionalisasi ruang obyektif , baik terhadap nilai guna, pengguna hingga estetika. Dari kecenderungan tersebut nilai guna (fungsi), pengguna (tubuh dan persepsi) dan estetika (seni dan keindahan) dicoba dikonversikan dalam sebuah nilai formal bahkan sistem nilai ukur – Golden Section, Modulor dll. Bahkan kondisi ini diperkuat dengan semangat urilitarian dari sebuah obyek pakai dalam hal ini ruang arsitektur. Artinya dalam konteks ini tubuh hanya dilihat dari perspektif kebutuhan terhadap ruang arsitektur secara naïf dan pragmatik, dan tentunya bila ditinjau dari sudut pandang estetika bagaimanapun nilai guna dari seni adalah tidak bisa terukur. Rasionalisasi dengan nilai ukur tersebut secara langsung menempatkan tubuh maupun estetika dalam posisi yang sudah 'terbakukan' sekaligus dalam bentuknya yang solid dan permanen. Dan dengan rasionalisasi tubuh termasuk roh, ruang telah sekaligus mengkondisikan tubuh dan roh sebagai bentuk yang pasif dan lemah (docile bodies and spirits).

Tidak sampai disini penguasaan tubuh oleh ruang dalam arsitektur modern. Pada tahapan selanjutnya penguasaan tersebut (dibaca sebagai hegemoni akal-pikiran atau kesadaran/rasio Cartesian) semakin dilembagakan dalam bentuk metoda-metoda atau cara berpikir kaum modern dalam mengembangkan dan menyelesaikan permasalahan dalam desain arsitektur, termasuk dibakukan dalam pengajaran-pengajaran di institusi resmi.  Metoda maupun teori mengenai tipologi ataupun programatik bisa dibaca sebagai sebuah bentuk rasionalisasi ruang tubuh dan roh maupun tubuh ruang dan roh dalam arsitektur. Artinya dengan tipologi, tubuh secara langsung dipetakan dan direduksi dalam arsitektur, diklasifikasikan atau dikelompokan menurut jenis kegiatan, aktifitas maupun keberadaannya. Hal tersebut juga bisa dilihat dalam programatik dalam artiannya yang konvensional. Dalam programatik tubuh juga dipetakan, diramalkan sekaligus direduksi melalui perkiraan-perkiraan (determinasi) kegiatan maupun fungsi aktifitas bahkan hingga dilakukan pendekatan sampai nilai ukur atau dimensi. Bagaimana keberadaan tubuh (dan roh) pada akhirnya bisa diukur dalam satuan nilai ukur ? Bagaimana modul bisa lahir kemudian untuk menyediakan ruang bagi tubuh termasuk roh? dan bagaimana tipe maupun bentuk bisa muncul begitu saja atasnama estetika tertentu? Mungkin inilah sebagian pertanyaan kritis terhadap rasionalisasi ruang utamanya terhadap tubuh yang terjadi dalam arsitektur.

 

III. EKUILIBRASI

 

III. 1.  Ontologi Ruang Fenomenologis - Sebagai Alternatif Ruang Obyektif

Heiddeger dalam Building, Dwelling dan Thinking, menekankan bahwa ruang yang terbentuk (arsitektur) tidak saja memungkinkan untuk dihuni melainkan bahwa ruang (arsitektur) adalah merupakan bagian dari proses ber-huni. Hal ini dimaksudkan bahwa dalam proses ber-huni terjadi proses puitik dalam artian lain sebagai sebuah proses memaknai (menjalani dan membuat) kehidupan dengan nilai-nilai kebenaran termasuk didalamnya dimensi-dimensi dari estetika. Sehingga arsitektur dikatakan oleh Heidegger sebagai sebuah alat pembentuk kebenaran dan diartikan sebagai pembentuk visi mengenai kehidupan . Dalam pengertian umumnya, ruang-ruang Cartesian dalam batas-batas kordinatnya (panjang, lebar, tinggi) tidaklah cukup dalam membentuk wujud nyata dari subtansi ruang (dunia),  diperlukan perluasan dari sekedar itu semua dalam artian terdapat dimensi lain yaitu proses pemaknaan, proses puitik -pengakuan akan eksistensi tubuh sebenarnya dan roh/spirit- termasuk pluralitas konsepsi dalam memandang serta memahami ruang (termasuk bentuk) yang didalamnya memerlukan peran indera (roh) atau tubuh. - dan inilah salah satu ciri dari pemikiran transisional sekaligus resistensi terhadap rasionalisasi ruang arsitektur.

Selain Heidegger muncul pula Gaston Bachelard - seorang filsuf, ahli sejarah sains dan psikoanalis Perancis  (1884 - 1962) - yang menekankan pada konsep, sistem dan struktur dari ruang pada kehidupan keseharian sebagai refleksi tentang dunia. Konsepsinya mengenai Inner Space mengetengahkan betapa pentingnya peran serta nilai ruang dalam (baca : fungsi rumah - arsitektur) baik dalam kesatuannya maupun kompleksitasnya yang bisa menghadirkan sebuah nilai dasar bagi kehidupan. Dalam bagian lain dari Poetic of Space, ia menyatakan persepsi akan kemapanan bisa hadir dari keberadaan ruang dalam (rumah) baik keberadaannya secara vertikal maupun secara konsentris yang menurutnya pula dapat menghadirkan kesadaran bagi individu . Dengan kata lain kekuatan ide Bachelard adalah pada daya imajinasi yang ia sebut dengan surrationalism, contohnya  seperti yang telah disebut, konsepsi rumah bukanlah hanya sekedar konsepsi Cartesian dengan batasan-batasannya (dinding, atap dan lantai), melainkan terdapat 'sesuatu' diatas itu semua - terdapat sebuah kondisi pemaknaan perseptual dan juga spiritual.

Begitu pula kritik Sartre mengenai posisi subyek-obyek dalam kaitan antara tubuh sebagai obyek dan ruang obyektif sebagai implementasi kesadaran sebagai obyek. Adalah konsep Practico-innert Field (keterasingan dari kebebasan) dalam hubungan serialitas; dimana dalam relasi subyek obyek baik dalam tataran komunikasi maupun lainnya sering terjadi kecenderungan generalisasi atau determinasi subyek terhadap obyek ataupun disposisi subyek terhadap obyek (kesadaran terhadap tubuh) sebagai sebuah warisan dari rasionalisme yang sudah mengakar. Dimana arsitek(tur) selama ini, mengenyampingkan tubuh (user-pengguna) sebagai yang lain dari dirinya. Yang dimaksud oleh Sartre bisa dibaca dan diberikan contoh dalam konteks ketika arsitektur menerapkan metode maupun teori mengenai tipologi maupun programatik dalam tataran praksis arsitektur sebagai sebuah bentuk determinasi.

Kemudian Maurice Marleau-Ponty  mencoba menjadikan pengalaman ruang termasuk didalamnya pengalaman mengenai warna dan cahaya sebagai struktur pembentuk persepsi individu lewat konsep intentional space. Sehingga dalam pengertian ini betapa besarnya arti ruang dan bentuk dalam perjalanan serta perkembangan kejiwaan, diri serta tubuh manusia. Melalui intensionalisasi ini Merleau-Ponty secara langsung mengajak kita untuk mendayagunakan tubuh (indera) termasuk dalam relasinya dengan akal dalam membangun persepsi terhadap eksistensi 'ruang' kehidupan –dunia, lebbenswelt.

Sementara Foucault melihat kekuasaan dari sudut pandang relasionalnya, dan bagi Foucault kuasa terhadap tubuh ternyata tidak hanya kuasa politis dan ekonomis yang terstruktur melainkan terdapat bentuk-bentuk kuasa imajiner yang ia sebut dengan micropower. Konsep ini bagi Foucault sangat berguna dalam menerangkan kuasa-kuasa abstrak terhadap tubuh termasuk didalamnya relasional tubuh dengan tubuh lainnya dalam ruang-ruang antropologis maupun ruang keseharian.

Konsepsi-konsepsi modern akan ruang yang 'statik' dalam pengertian dasarnya, mengalami berbagai resistensi yang kuat. Seperti yang telah disebutkan masa-masa transisional telah memberikan ciri-ciri yang sangat kuat tentang perluasan konsepsi ke-ruang-an, khususnya dalam arsitektur. Foucault dan Lefebvre mencoba mengetengahkan konsepsi-konsepsi baru mengenai thirdspace, dalam pengertian pembentukan serta pemaknaan akan ruang . Lefebvre mencoba melakukan resistensi terhadap posisi binari dari 'ruang-ruang' sosial yang terbentuk, utamanya seperti yang dikemukakan oleh Marx melalui konsep pertentangan kelas yang diutarakan dengan sistem oposisi biner . Bagi Lefebvre terdapat 'bentuk ketiga' dalam realitas serta bentukan ruang-ruang (sosial-kemasyarakatan dan ruang obyektif) secara biner, faktor ketiga itu adalah moment,  momen disini memiliki pengertian lebih dari sekedar sintesa ataupun konsep in between, melainkan konsep 'ruang ketiga' ini dimaksudkan sebagai sebuah faktor katalis, perubah atau bahkan secara radikal mengacak serta menghancurkan dari keseluruhan konsepsi biner mengenai keberadaan ruang (sosial dan fisik). Lefebvre mengemukakan bahwa 'ruang' dalam arsitektur selama ini terbentuk oleh adanya gambaran maupun persepsi dari sang subyek (arsitek-modernisme-fetish) dan bukannya  dari realitas ruang-ruang sosial , sehingga yang terjadi adalah representasi kebenaran yang bukan muncul dari pengalaman keseharian, dan  akhirnya kebenaran tersebut cenderung telah menjadi ideologi dalam pembentukan ruang . Singkatnya menurut Lefebvre, seharusnya ruang-ruang justru diproduksi tubuh yang memiliki atau mengalami momentum.

Sementara itu Foucault lewat heterotopian space mencoba mengungkapkan bahwa ruang merupakan wilayah batas atau demarkasi yang secara  institusional dibentuk, ditetapkan dan dibuat lewat struktur kekuasaan (sosial, ekonomi maupun politik) . Lebih jelas lagi Foucault mengemukakan bahwa konsepsi heterotopias telah berlangsung dari masa primitif lewat kekuasaan adat/tradisi hingga pada realitas kekinian lewat kuasa formal. Ruang-ruang yang memiliki batasan seperti profan-sakral adalah konsepsi mengenai heterotopia pada masa primitif sedangkan untuk memberikan contoh pada konteks kekinian Foucault memberikan contoh bagi ruang heterotopian dengan ruang-ruang institusional yang  radikal seperti rumah sakit dan penjara . Sehingga pada intinya Foucault berpendapat bahwa pola-pola produksi dalam dan terhadap ruang akan menjadi paradigma utama dalam memahami kondisi peradaban manusia. Hal tersebut dikarenakan tubuh masih menjadi isu utama dari apa yang dinyatakan oleh Foucault. Intinya tubuh mengalami represi dari berbagai sudut.

Dengan adanya pendapat-pendapat diatas membuktikan bahwa betapa halus atau bahkan bisa dikatakan tidak terdapat batasan yang kuat antara keberadaan ruang arsitektur dengan ruang-ruang dalam konteks lainnya dalam pengertian kuasa ruang (sebagai perpanjangan kuasa yang lain) telah membentuk tentakel-tentakel yang mengekang tubuh termasuk roh.

 

III.2. Fenomenologi Dalam Arsitektur : Relasi Tubuh - Roh dengan Ruang dan Tempat

Hegemoni rasio dalam modernisme telah menjadikan keberadaan modernisme (khususnya arsitektur, sehingga pembelaan bahwa arsitektur modern tidaklah melupakan sejarah justru harus dilihat sebagai bentuk abstraksi terhadap sejarah tidaklah cukup) menjadi timpang dalam konteks tujuan humanisasinya.. Berbagai kritik tajam dialamatkan kepada gerakan modernisme, mulai dari tataran filsafat-sosiologis seperti kritisi dari Frankfurt School hingga Marcuse lewat 'Manusia Satu Dimensi' . Ketimpangan gerakan modernisme inilah yang justru pada akhirnya melahirkan berbagai pandangan -pandangan alternatif dalam menyikapi perkembangan serta modernitas manusia. Pandangan Fenomenologis yang dimulai oleh Edmund Husserl sebagai sebuah metode filosofis yang mampu menggambarkan 'pengalaman' atau 'kesadaran' akan kehadiran benda-benda didunia (kehidupan sehari-hari) dengan tidak mereduksinya ke dalam suatu metode ilmiah. Sebagai murid dari Husserl, Heidegger mengembangkan metode ini dengan menekankan pada 'keber-ada-an' dan 'ada' dari benda-benda (fenomenon). Heideger sempat menyinggung wilayah arsitektur melalui essay  'Building, Dwelling and Thinking'  yang pada intinya Heidegger menyatakan bahwa arsitektur adalah sebagai pembentuk visi kehidupan melalui kegunaan dwelling-nya. Telaah fenomenologis ditenggarai memiliki peran emansipatoris dalam artian melepaskan subyektifitas termasuk relasi biner antara subyek-obyek serta reduksi-reduksi yang selama ini banyak digunakan dalam telaah-telaah sebelumnya.

Dalam konteks arsitektur, telaah fenomenologis memunculkan nama-nama seperti Schulz, Lefebvre hingga Tschumi. Pada intinya pandangan fenomenologis dalam arsitektur melihat potensi pada bagian lain dari individu selain rasio yang diprioritaskan selama ini ; yaitu tubuh. Yang menjadi sorotan utama adalah mengenai tubuh dalam relasinya dengan ruang sebagai domain asal atau rujukan dari nilai guna. Seperti diketahui keberadaan tubuh telah mengalami pergunjingan berabad-abad. Kecenderungan Cartesian yang menganggap tubuh sebagai obyek dari hegemoni pikiran mengalami perubahan secara fenomenologis menjadi pelaku dengan relasi nir-hirarki. Sehingga secara umum dalam konteks akomodasi terdapat wacana materialitas logika antara tubuh dan ruang yang bisa menyebabkan kompleksitas pemahaman terhadap 'ruang dari tubuh' dan 'tubuh dari ruang'. Dalam pemahaman yang lebih jauh lagi bisa dikatakan pemahaman akan ruang (termasuk bentuk) bukanlah semata proyeksi tiga dimensional yang sederhana dari representasi mental, sehingga dibutuhkan semacam silang inderawi (sense crossing) dalam pemahamannya - bagaimana kita melihat bunyi, mendengar warna, mencium rasa atau mengecap harum bunga. Disamping itu ruang yang terdefinisi utamanya melalui moment dan pergerakan ( Lissitzky ; ruang-waktu irrasional / empat dimensional) adalah sebuah bentuk penjelasan antara ruang-ruang inderawi dengan ruang-ruang kemasyarakatan -ruang kinematis.

Pendapat ini bisa menghasilkan premis lanjutan bahwasannya tubuh tidak hanya bergerak melainkan lebih daripada itu, ia memicu produksi ruang lewat pergerakannya. Sehingga pergerakan adalah sebuah intrusi event/moment kedalam ruang arsitektur dan pembacaan terhadap event ini diwujudkan dalam skenario ataupun program tentang ruang sebagai bentuk batas dalam arsitektur, dimana pemenuhan ketiadaan fungsional adalah berdiri sendiri tetapi tidak dapat dipisahkan dari ruang yang melingkupinya. Pendapat ini berkembang dari konsep Aristoteles mengenai ruang pelingkup hingga konsep Christian Norberg Schulz mengenai konsep ruang (space) yang berkembang menjadi tempat (place) ketika tubuh berkorelasi dengan ruang (dan dunia).

Dalam artian lain konsepsi mengenai ruang menjadi tidak bermakna bila tidak ada tubuh sebagaimana konsepsi Schulz tadi mengenai 'ruang' dan 'tempat' atau konsepsi Lefebvre mengenai tubuh yang memproduksi ruang. Begitu pula pendapat Foucault mengenai heterotopias dalam kaitan antara ruang-waktu dan tubuh ; tubuh dalam memahami 'ruang yang menguasai waktu' maupun 'waktu yang menguasai ruang' yang berangkat dari 'ruang-waktu yang menguasai tubuh' dalam kaitannya dengan pembentukan ruang-ruang suci/terlarang dalam pemahaman tradisonal. Tetapi yang menarik adalah konsepsi yang dipertegas disini bukanlah dalam prioritas ruang melainkan programatik ruang dalam batasannya menyangkut fungsi yang berkorelasi dengan event - contoh ruang makan ditentukan sebagai 'fungsi' dalam arsitektur tetapi makan pada dasarnya bisa dimana saja, program tidak bergantung terhadap ruang - programatik tidak berkorelasi dengan tipe .

 

III. 3. Roh yang Tergugah dan Tubuh yang Emansipatoris Versus Kekuasaan Dalam Ruang Arsitektur

Dalam konteks micropower atau relasi kekuasaan yang terjalin dalam individu, terutama melalui pembagian spasial seperti yang telah diajukan oleh Foucault, konsep-konsep mengenai pembebasan maupun kebebasan individu menjadi isu utama. Artinya individu yang selama ini hanya dimungkinkan berpikir melalui emansipatoris pikiran walaupun secara tubuh terbelenggu kini ditawarkan untuk melepaskan tubuhnya dari 'belenggu-belenggu' kuasa yang mencengkeram, baik itu kuasa dalam wilayah sosial, politik, ekonomi hingga arsitektur. Pelepasan tubuh dalam konteks arsitektur bisa diartikan sebagai pelepasan tubuh dari determinasi ruang-ruang arsitektural yang melingkupinya melalui pembagian ruang spasial secara ketat berdasarkan programatik yang ketat pula. Artinya kuasa ruang terhadap tubuh (tubuh sebagai obyek) bisa dilihat menjadi kuasa tubuh terhadap ruang (tubuh sebagai subyek) tanpa mungkin mengedepankan permanensi atau disposisi statis-nya .  Atau justru kata permanent atau disposisi tersebut digunakan dan diartikan secara lain ; tubuh adalah penentu permanensi ruang lewat momentum maupun event. Sehingga tubuh-lah yang akhirnya memproduksi ruang melalui aktifitas maupun peristiwa seperti yang dinyatakan oleh Lefebvre dan Tschumi melalui Architecture as Event, sehingga bisa dikatakan tubuhlah yang melahirkan arsitektur dan bukanlah fungsi melalui programatikanya yang diterjemahkan dalam bentuk . Konsep-konsep seperti inilah yang dikembangkan Tschumi lewat foolie atau wahana yang terdapat pada Parc de la Villette, dimana Tschumi hanya menempatkan ruang-ruang kosong tanpa nama dan fungsi untuk kemudian fungsi dengan sendirinya terjadi atau dengan kata lain Tschumi hanya membentuk ruang dengan definisi materialitas ruang untuk kemudian diproduksi menjadi arsitektur lewat tubuh dan peristiwa menjadi sebuah tempat (place). Sehingga pada akhirnya tubuh dibebaskan dari kuasa relasional individu lain hingga kuasa arsitektur melalui definisi ruang  menjadi tubuh yang emansipatoris.

Dalam perspektif fenomenologis pandangan seperti diatas merupakan turunan dan merupakan tujuan. Sehingga tubuh yang emansipatoris tadi mampu berelasi dengan ruang arsitektur dan memproduksi tempat - produksi arsitektur. Sebagaimana tubuh berelasi dengan ruang-ruang lain dan memproduksi tempat. Dalam konteks kekuasaan khususnya pada ruang-ruang arsitektur, fenomenologi melihat selama ini ruang arsitektur yang terdefinisi sebelum produksi tempat terjadi cenderung membelenggu. Seperti contoh bagaimana sebuah ruang arsitektur dikatakan sebagai ruang tidur - tempat tubuh untuk tidur. Definisi berlaku ketika tubuh mengalami tidur, tetapi ketika tubuh melepaskan diri dari tidur atau bahkan dari ruang tidur tadi apakah ruang dikatakan ruang tidur atau tempat untuk tidur ? Contoh lain adalah sebuah kamar kost mahasiswa seharusnya tidaklah didefinisikan sebagai ruang tidur karena peristiwa yang terjadi dalam kamar kost sebagai ruang arsitektur bisa beragam, mulai dari tidur, makan, bekerja, bersosialisasi, hiburan dan lain-lain. Dengan demikian jelas terlihat emansipasi tubuh dalam 'berperistiwa' tanpa harus dikekang dengan kuasa ruang maupun kuasa nilai lewat definisi.

 

 


Seni : Antara kehendak rohaniah dan komodifikasi







                                          ...seni yang mana ?



I. Pada awalnya : Mimesis

Seni pada hakekatnya merupakan bentuk representasi  dari realitas sehingga seni tidaklah orisinal dalam otonominya. Artinya seni melihat dan menilik kehidupan sekaligus menjadikan dirinya sebagai refleksi dari realitas. Bilamana ini memungkinkan adalah ketika ritual tahunan terhadap Dionysius dilakukan dalam kebudayaan Helenistik pada lebih kurang 5 abad sebelum tahun masehi dimulai, ritual tahunan dengan pementasan epik kepahlawanan dari Perang Trojan dan seni maupun pementasan ini kemudian dikenal dengan Tragedi (Tragodia) pada masa Aristoteles. Pada saat inilah dalam kebudayaan Barat istilah maupun bentuk  'seni' mulai dikenal sekaligus di-'lembaga'-kan sekaligus juga mulai mengundang wacana terhadapnya. Karena pada intinya bila kita merepresentasikan seni dari kehidupan seharusnya sudah muncul ketika kehidupan (realitas) manusia itu  mulai ada. Kemudian ketika tragedi dikatakan sebagai (sebuah) bentuk seni adalah karena efek maupun akibat dari pementasan tersebut yang mampu menggugah, menyadarkan diri serta nurani (katarsis), karena Tragedi itu sendiri adalah paradoks dan didalamnya memiliki struktur cerita (plot) sebagaimana hidup itu sendiri. Sehingga dengan itu dikatakan bahwa seni adalah sebagai penggugah rasa dan emosi dalam realitas kehidupan.

Seni -pementasan Tragedi- pada saat itu adalah kata yang mewakili berbagai karya manusia (craftmenship) mulai dari lukisan, patung hingga teater Tragedi yang diangkat oleh Homer dari realitas Perang Trojan. Sehingga dengan demikian seni adalah sebuah produk refleksi maupun mimesis dari realitas sebenarnya. Plato berpendapat proses imitasi maupun mimesis dari seni adalah daya representasi dari seni yang merupakan kesempurnaan karya, kesempurnaan karya yang didahului oleh kegairahan luar biasa dari diri seniman (penulis, aktor dll) yang melibatkan emosi serta perasaan penonton dalam sebuah teater. Berbeda dengan Aristoteles yang melihat proses mimesis seni terhadap realitas sebagai sebuah proses produksi karya, Plato melihat proses tersebut sebagai sebuah idealisasi (Eidos/Idea) dan tunggal, maksudnya ialah bahwa proses mimesis tersebut bukanlah dalam artian harafiah semata melainkan terdapat gagasan dibaliknya yang muncul dari rasa (roh/Eros), dalam konteks Tragedi gagasan yang dimaksud adalah seni dimaksudkan untuk menggugah dan cermin bagi kehidupan selanjutnya. Hal seperti in pulalah yang pernah diungkapkan oleh Nietzsche dalam memandang seni. Seni muncul sebagai penutup kenyataan yang lahir dari semangat Apollonian yang menyimbolkan semangat Yunani yang penuh kekuatan untuk menciptakan keharmonisan, kejeniusan, keindahan dan simbol cahaya, sementara itu sebaliknya hidup penuh dengan nafsu, kegilaan, keinginan termasuk sikap menyerah yang disimbolkan dengan semangat Dionysian. Dan bagi Nietzsche keduanya harus berjalan seiringan dan merupakan sebuah bentuk kontinum dalam kehidupan dan saling menghasilkan gugahan

 

II. Seni : Yang Mana ?

Perkembangan wacana mengenai seni selanjutnya sungguh menarik, baik dalam tataran teoritis maupun praksis. Untuk itu uraian dibawah ini bukan bermaksud memilah-milah seni ke dalam kotak-kotak yang lebih kecil melainkan justru mencoba mengungkapkan realitas dari seni itu sendiri seperti yang di-klaim berbagai pihak untuk selanjutnya dirumuskan apa yang dimaksud dengan seni. Adapun uraian dibawah ini secara sengaja mengikuti karakter imajiner yang terdapat dalam dialog pada teks ‘Acastos’ (minus Socrates dan Plato) dengan memasukkan beberapa sari dari pemikiran-pemikiran lain yang pernah ada.


      Seni Dalam Perspektif Pragmatisme : Sebagai bentuk pelengkap dan pemberi warna kehidupan

Seni dalam artian ini adalah hakekat dari keindahan dan kesenangan -sebagai posisi kebenaran - yang dicapai dalam hidup. Apapun itu yang menimbulkan sebuah bentuk keriaan secara jasmani dan rohani dan dilihat dalam konteks mengkayakan hidup dapat dianggap sebagai sebuah bentuk seni yang tidak harus dilihat pretensi maupun tendensi yang ada dibaliknya. Tentunya pengadaan seni semacam inipun melaui proses 'peniruan' terhadap realitas alam (an) dalam bentuknya yang melibatkan indera dalam penikmatannya. Terlepas dari nilai baik-buruk, kebenaran maupun keindahan seni ini sangat bersifat publik, artinya seni dalam tataran ini mampu mencapai lapisan paling luar dari kepekaan terhadap keriaan hidup - sebagian menamakan sebagai seni kebanyakan atau seni publik sebagaimana kegunaan praktis dari seni ini dalam menciptakan keriaan, kesenangan serta hiburan sebagai salah satu kebenaran publik. Sejauh apapun upaya seniman dalam proses ber-kesenian-nya, bila dalam tujuan akhirnya adalah kegunaan praktis, seni dalam bentuk ini akan dianggap sebagai bentuk seni pelengkap dan pemberi warna hidup dan bukanlah anggapan bahwa seni adalah hidup itu sendiri, meskipun seringkali terjadi klaim dari pihak seniman yang sering mengatakan bahwa seni mereka pun layak untuk disebut sebagai bentuk kesenian dan tentunya bagi mereka seni adalah hidup mereka sendiri dalam artian naïf dan harafiah.

Proses melihat, mendengar, meniru dan imajinasi sekaligus kebalikannya adalah proses berkesenian, dan dalam konteks ini demi satu tujuan keriaan hidup baik dalam perspektif seniman maupun penikmatnya.

Ilustrasi dari bentuk seni ini dapat dilihat dalam seni-seni rakyat yang telah mengalami reduksi-reduksi substansial dimana klaim atas seni rakyat didapat dari akar kebenaran yang diambil pada awal sebelum reduksi-reduksi itu terjadi.


      Seni Dalam Pandangan Utilitaruan : Batasan sebagai media dalam kungkungan nilai guna untuk semua pihak

 Yang dimaksud seni dalam tataran ini adalah bentuk resistensi terbesar terhadap klaim seni ideal-Platonis (Eros) dalam pengertian motifnya. Seni dalam perspektif ini melihat bagaimana seni muncul baik dari rohani maupun kehendak seniman dalam menangkap realitas khalayak dalam menyuguhkan kebenaran. Artinya seni ini memiliki motif atas publik. Namun perbedaan dengan seni yang cenderung pragmatis adalah dimana tujuan akhir dari seni ini bukanlahlah keriaan semata melainkan ada yang lebih ingin dicapai dari sekedar itu, -inilah motif utama yang bisa berbentuk dan memiliki tujuan sosial. Seni ini banyak berkembang dikarenakan banyak klaim atas kebenaran yang terjadi pada realitas dan umumnya seni dijadikan klaim kebenaran satu realitas terhadap yang lainnya, sehingga akhirnya nilai-nilai sosial sangat menentukan dalam kehidupan seni ini.

Kemudian apa yang dikatakan seni dalam hal ini adalah ketika sebuah proses kesenian baik secara dalam maupun tidak, berhasil mencapai tujuan akhir atau paling tidak penikmat mengakui kebenaran yang ditawarkan. Disinilah letak keutamaan seni ini. Namun dalam perjalanannya seni ini cenderung mengalami 'ketergelinciran' akibat pengaruh-pengaruh yang terjadi pada kondisi realitas, artinya seni menjadi propagandais. Ilustrasi dari seni seperti dimulai dari seni yang sangat relijius (lukisan Michelangelo pada langit-langit basilica atau gereja di Itali) hingga seni Dada yang meprotes industrialisasi dan mekanisasi perang pada Perang Dunia I. Dan contoh propagandais lain dalam seni ini adalah dari Konstruktivisme Rusia hingga Totaliterianisme Nazi yang melarang seni modern (Avant Garde) –terlepas dari masing-masing usungan yang dibawanya.

 

      Seni Dalam Pandangan Skeptisisme (Nihilisme) : Seni yang mengusung ketidakpercayaan terhadap epistemologi seni - transendensi seni (seni spontan)

Wacana seni dalam konteks ini lebih merupakan resistensi bagi bentuk wacana seni lain yang telah muncul sebelumnya. Seni -dalam terminologi umum- sering dikaitkan dengan elisitas maupun inteletualitas dan memiliki ranah tersendiri. Dalam pandangan ini seni yang ada dianggap tidak membumi dan sulit dimengerti apalagi dinikmati oleh publik secara luas. Seringkali 'seni' pada kenyataannya tidaklah menggambarkan kebenaran apa adanya melainkan kebenaran tingkat tinggi yang sulit untuk dimengerti. Pada posisi ini kelembagaan seni baik secara institusional maupun epistemologis (sejarah estetika) cenderung dikritik karena menciptakan 'jarak-jarak' yang terlalu jauh yang harus ditempuh dalam mengapresiasi karya-karya seni. Akhirnya 'seni' dianggap tidak niscaya dalam hubungannya dengan kebenaran dan realitas dan dipihak lain seni menciptakan ranahnya sendiri dan berada dalam paras yang tinggi termasuk ketika dalam seni terjadi fraktalisasi (fragmentasi/perkembangbiakan) melalui apa yang dikenal dengan seni murni, seni pakai, seni tontonan dan lain-lain. Dalam konteks ini betapa kompleks dan sulit ketika kita 'hanya' ingin mendapatkan keindahan hidup melalui seni ! Bentuk keindahan yang bukan semata keindahan visual yang ingin kita dapatkan - keindahan rohaniah yang tidak perlu melibatkan rasio terlalu dalam dan jauh !

Dalam hal ini cenderung terjadi kritik terhadap bentuk maupun keberadaan seni yang cenderung dan terlanjur fraktal. Seni adalah dan seharusnya seni itu sendiri- art for the sake of art ! - tidak lebih dari itu. Sehingga pada intinya seni dalam konteks ini lebih cenderung subyektif dan individualistik hingga elitis, karena seni yang muncul dari sikap skeptik terhadap seni maupun realitas luarannya ini sangat dipengaruhi oleh inferioritas maupun interiorotas seniman, meskipun mendapat pengaruh dari luarannya. Seniman menjadi sedikit lebih egois dan seni akhirnya menjadi kehidupan pribadi, meskipun tidak menutup kemunginan  ada yang merasa terundang olehnya. Ilustrasi besar dari  wacana seni ini adalah ketika terjadi pergulatan dalam 'arus-arus besar' realitas ; klasikisme/tradisionalisme versus kontemporer atau modernisme versus post-modernisme.

 

      Seni Ideal ? : Kebangkitan kembali Romantisme dan Ekspresionisme ?

Seni berhubungan dengan rasa dan melibatkan tubuh sebagai hasil dari sebuah alaman dan pemikiran yang dalam. Dan dalam seni terkandung sesuatu yang bukan hanya emosi, lebih seperti sebuah pandangan, sikap, dan pengetahuan. Dalam konteks ini seni tidaklah langsung sebagai sebuah proses imitasi maupun mimesis, terdapat pengkayaan maupun pemaknaan lanjut dalam prosesnya yang timbul dari rasa, emosi seniman itu sendiri terhadap alam, dunia maupun spiritualitasnya (lebbenswelt). Dengan kata lain melalui seni, sang seniman 'menilai' realitas kehidupan dalam wilayah kebenaran (nilai) dan moral.  Dan keindahan seni dalam perspektif ini adalah ketika ‘barang’ maupun ‘produk’ seni (the thing) tersebut bisa dikomunikasikan sekaligus dimengerti dan di-'rasa'-kan kembali secara baik oleh khalayak. Dengan kata lain melalui seni-lah komunikasi dari rasa satu ke rasa yang lain atau dari roh satu ke roh yang lain bisa berlangsung dengan perantara antara lain ; pikiran, tubuh, alam dan barang seni (the thing) itu sendiri.

Dipihak lain seni menggambarkan kecintaan terhadap alam dan dunia melalui kesucian maupun gairah yang ditimbulkannya. Seni seperti ini (masih) menjadi sebuah konsepsi seni yang mendekati utuh. Ekspresi seniman yang tanpa pretensi lain diluar hakekat kesenian sebagai motif mendapatkan respon dari khalayak yang merasa seni tersebut mampu menggugah dalam melihat realitas.

 

III. Kontemporaritas Seni : Quo Vadis ?

Tidak dapat dipungkiri dalam perkembangan serta pemahaman mengenai seni yang berkembang pada kondisi sekarang memerlukan sebuah kemampuan dalam memahami apa yang menjadi  latar yang membidaninya, -  intertekstulitas.

Dalam pemahaman perkembangan seni kontemporer maka kesederhanaan relasi antara 'makna' sebagai produk roh-rasio dan 'bentuk' sebagai produk rasio-tubuh tidaklah sesederhana dari apa yang kita rasakan melalui indera, melainkan dimensi ruang dan waktu perlu dipahami sebagai variabel atau komponen penting yang turut membangun sebuah 'ruang' pemahaman seni  ini- sebuah ruang fase multidimensi kultur yang memiliki berbagai arah perspektif dan perkembangan termasuk didalamnya multidimensi diskursif sebagai gejala kondisi yang kabur. Menurut Kristeva sebuah karya (seni, desain, teks dll) dibuat dalam ruang serta waktu yang real sehingga relasi antara satu karya seni dengan karya seni lainnya harus ada, dengan kata lain dinyatakan bahwa sebuah hasil karya seni tidak berdiri sendiri, tidak mempunyai landasan yang tunggal, tidak memiliki kriteria dalam dirinya sendiri dan tidak otonom. Sehingga dalam sebuah proses berkesenian maupun proses pemahaman dan 'pembacaan' seni, pemahaman akan kontekstulitas seni dengan apa-apa yang diluar dirinya akan menjadi sesuatu yang diperlukan apalagi dalam kondisi 'keterlanjuran'  (posmodern dan pasca kematiannya ?) seperti yang terjadi diseputar kita saat ini. Selanjutnya keadaan budaya (pencampuran, inkulturasi, akulturasi, dll) tidak pernah lepas sebagai sebuah latar  dari proses seni atau  penciptaan dalam wilayah seni (rupa, musik, panggung, arsitektur, sastra dll). Sebuah kondisi kebudayaan atau peradaban bisa jadi dapat dibaca melalui berbagai produk ke-seni-an yang dihasilkan pada masanya atau produk ke-seni-an bisa dijadikan sebagai sebuah alat baca bagi sebuah kondisi budaya atau peradaban -visa versa.

Bila menilik relasi antara interkontekstualitas wilayah seni (kreatif-estetis) dengan wilayah cultural, utamanya dalam perspektif besar kebudayaan dunia, kreatifitas terasa memiliki bentuk-bentuk relasi linier dengan berbagai tanda-tanda sosial dan budaya pada masa-masa klasikisme (Helenis dan Romanis) hingga pada masa awal modernisme, sehingga kreatifitas pada masa-masa itu begitu rasional dan deterministik sejalan (linier) dengan perkembangan ideologi yang diusung. Wilayah kreatif seni dan estetik pada masa tersebut merupakan sebuah wilayah yang sangat eksklusif dan holistik, produk kreatif-estetik adalah sebuah manifestasi akan keluhuran akal budi manusia dalam memandang keberadaannya terhadap alam dan Tuhan, sejalan dengan pandangan pemikir-pemikir Helenis seperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Sedangkan kretifitas seni pada masa modern (pasca pencerahan/rennaissans) memiliki jalinan linier yang kuat dengan logosentrisme - sebuah bentuk kepercayaan bahwa bentuk kreatifitas identik dengan progresifitas, kemajuan olah pikir dan inovasi sebagai pencapaian dalam ilmu pengetahuan, dicontohkan bagaimana Picasso frustasi dengan penemuan alat fotografi dan akhirnya melahirkan karya seni lukis Kubisme setelah sebelumnya ia berkutat dengan gaya realis ! Kreatifitas dan estetika mulai kehilangan orisinalitas dalam perspektif individu tergantikan oleh produksi atau bahkan dengan kata lain reproduksi kreatifitas telah lahir – bentuk layering.

Perkembangan, gerakan atau proses seni dalam perspektif keilmuan - determinisme sains (pasca klasikisme)- biasanya dibangun dalam dua bentukan besar yang menjadi  motornya, pertama adalah bangunan ideologis dan yang kedua adalah bangunan estetika. Sebagai contoh dalam modernisme sangatlah jelas rasionalitas sebagai sebuah bentuk 'kepercayaan' akan logos menjadi lokomotif ideologi dalam seni dan fungsionalisme maupun minimalisme adalah merupakan mesin estetika modernisme, kemudian pada masa kontemporer (posmodernisme ?) justru yang terjadi adalah tidak adanya sebuah ideologi yang kuat yang mana melahirkan sebuah kritik lanjutan terhadap posmodernisme dimana dikatakan posmodernisme lebih sebagai sebuah kritisisme akan modernitas dengan menghasilkan bentukan-bentukan tandingan yang tanpa dasar yang kuat dengan berlindung kepada pemahaman akan sejarah dan kritik rasionalitas, kecintaan akan kulit luar  menjadi sebuah motif estetika desain posmodernisme - dalam perspektif estetika inderawi apakah ini sebuah bentuk pembacaan Neo-Kantian ?

Atau mungkin latar belakang ideologis kreatifitas pos-modern ini semakin memiliki interkontekstualitas yang tinggi sehingga tidak ada satupun ideologi yang sangat menonjol atau mendominasi  didalamnya selain ideologi posmodern itu sendiri yang menurut Jencks dilihat sebagai suatu adhoisme radikal atau eklektisisme baru. Suatu turbulensi ideologi yang melahirkan ruang fase multidimensi kultural dalam seni, pemahaman campuran, centang perenang, dan akhirnya  lintang pukang menuju kekacauan dalam hirarki tertingginya, hyper-aesthetic dan chaos !

Ilustrasi dari keadaan ini adalah tumpang tindihnya relasi/rujukan antara kode dengan realitas dalam seni. Kondisi ini menjadikan pelapisan-pelapisan dalam seni (superimpose) atau melahirkan hibriditas dalam wilayah seni yang bisa menimbulkan efek baik maupun buruk. Pelapisan dalam seni bisa dikaitkan dengan contoh seperti misalnya bagaimana kalau epik Homer tragedi dicoba difilmkan/diparodikan ? atau dibuat games melalui wahana-ria (video games) atau malah divirtualkan dalam sebuah taman fantasi dimana manusia bisa mengalami Perang Trojan secara langsung !

Ironisnya pelembagaan seni sangat bertanggung jawab terhadap kondisi ini, dicontohkan ketika seorang Damien Hierst -seorang seniman Irlandia- memenangkan sebuah penghargaan seni (instalasi) dari sebuah dewan nasional seni di Inggris pada tahun 1994 atas karyanya berbentuk akuarium dengan kepala kambing yang direndam dalam cairan formaldehida, atau seorang Pierre Manzoni yang sinis dan mengkalengkan kotorannya sendiri dan menjadikannya sebagai karya seni, atau mungkin seorang Duchamp yang memamerkan urinoir (sebagai produk industri) sebagai sebuah karya seni – hyperaesthetic !

Apakah seni seperti itu ? Lalu dimanakah ‘seni’ ?


IV. Mungkin inilah Seni ? (sebuah tawaran)

Seni adalah produksi maupun reproduksi dari realitas sehingga seni bukanlah pelengkap ataupun bagian dari realitas melainkan seni adalah realitas (kehidupan) itu sendiri. Realitas (kehidupan) manusia adalah keber-ada-annya, baik dalam wujud fisik (tindakan, gesture dan lain-lain) yang bisa dicermati secara inderawi maupun kehadiran rasio serta roh yang sulit dicermati oleh indera tetapi kehadirannya mutlak. Oleh karena itu kedalaman rasional yang dilatarbelakangi oleh eksistensi roh dapat menghadirkan wujud tindakan dimana dalam proses tersebut seni lahir. Memang pada bagian lain klaim modernitas terhadap keluhuran rasio selalu muncul dan pada akhirnya melahirkan apa yang kita sebut teknologi, justru disinilah letak 'sedikit' perbedaan antara teknologi yang murni berangkat dari skill rasional dan acapkali menapikan peranan roh, dengan seni yang mendapatkan dukungan roh secara penuh. Sehingga dalam perspektif kemanusiaan teknologi selalu mendapatkan resistensi dalam sifatnya yang destruktif (industrialisasi, distribusi informasi yang tidak terkendali dan lain-lain) sementara seni maupun kesenian cenderung selalu mendapatkan dukungan, dan walaupun terjadi resistensi baginya adalah perkembangan jaman (kebudayaan) itu sendiri yang dipicu oleh modernitas (sifat destruktif dari teknologi), otoritas (status quo) atau pada ranah seni kontemporer resistensi muncul dari kalangan dalam sebagai sebuah bentuk wacana dinamis dan progresif yang memberikan inspirasi selanjutnya.

Inilah yang dimaksud dengan seni sebagai realitas kehidupan manusia. Eksitensi manusia yang terdiri dari roh, rasio dan tubuh adalah perangkat seni utama dengan alam sebagai media besarnya, sementara peranan teknologi adalah dalam rangka menjembatani dialog antara manusia dengan alam dalam berkesenian, thus artinya teknologi merupakan bagian dari seni itu sendiri pada akhrnya ! haruskah ?

Pada perjalanan sejarahnya, epistemologi lah yang telah menjadikan seni sebagai sebuah disiplin -estetika. Apa yang kita lihat melalui produk seni yang terstruktur adalah produk estetika. Yang dimaksud terstruktur adalah bahwa ketika seni itu dikomodifikasi pada paras pertamanya maupun pada paras lanjutannya, artinya motif telah terlebih dahulu muncul dan sedikit menapikan roh (wants who conquered the will), seperti halnya pelembagaan seni. Sedangkan seni pada dasarnya adalah jajaran dari kehidupan yang penuh misteri dimana manusia hanya bisa meraba dan merencanakan, dan yang terjadi pada momentum kejadian hidup adalah sebuah kondisi ke-spontan-an -begitu pula dengan seni seharusnya ?. Dipihak lain pelembagaan seni (termasuk hidup) adalah bentuk determinasi terhadap seni (maupun hidup) itu sendiri, sehingga seni menjadi direncanakan, menunggu order, untuk mencari nama dan keuntungan, politis dan lain-lain.