Stones can make people docile and knowable...
Michel Foucault
I. PENDAHULUAN
Kesetaraan relasi fungsional pengguna atau penghuni (user) terhadap ruang dan bentuk arsitektur mengalami perjalanan yang panjang dalam ruang sejarah perkembangan arsitektur. Ketika arsitektur mengalami fraktalisasi konsepsi ke-ruang-an dan bentuk, dimana arsitektur mulanya merupakan sebuah wilayah kreatif-pragmatik dalam menciptakan wadah (container) aktifitas manusia yang (hanya) memiliki muatan fungsional dan estetik, berkembang menjadi sebuah wilayah kreatif-semantik yang menjadi sarana bagi ilmu-ilmu lain maupun kepentingan -kepentingan lain dan cenderung tendensius, hal ini tidak lain karena arsitektur telah berkembang menjadi sebuah ilmu pengetahuan dan memposisikan dirinya dalam sebuah wilayah yang dinamakan dengan ilmu terapan. Sejauh apapun arsitektur berkembang dan bertendensi, tuntutan akan hakikat serta fungsi dasar (ma'rifat) arsitektur selalu menyertainya yaitu tuntutan akan 'ruang yang terbentuk' serta 'bentuk yang menempati ruangnya', termasuk tuntutan terhadap definisi keduanya sebagai pembentuk terminologi arsitektur keseluruhan.
Dalam ruang dan bentuk arsitektur, bagaimanapun manusia meng-interpretasi-kannya, terdapat jalinan relasional yang tidak hanya bisa dipandang dari satu perspektif semata. Relasi dalam ruang dan bentuk sedikit banyak telah memberikan identitas dan posisi bagi arsitektur. Nilai pakai maupun nilai guna ruang dan bentuk yang semula merupakan 'container' bagi suatu aktifitas maupun fungsi (contain), kini bisa ditinjau sebagai 'medium' tempat relasi-relasi dalam kehidupan manusia berlangsung, sekaligus sebagai pemicu tendensi-tendensi dalam masyarakat, dalam bidang sosial, ekonomi, politik kekuasaan dan lain sebagainya.
Selanjutnya interpretasi mengenai ruang dan bentuk arsitektur akhirnya tidak akan pernah lepas dari keterkaitannya dengan konteks atau konsepsi tersebut, seperti konsepsi mengenai 'ruang-ruang sosial', 'ruang-ruang ekonomi', 'ruang-ruang politis', dan lain-lain, sehingga ruang dan bentuk tidak lagi merupakan wujud arsitektur semata melainkan mengalami perluasan baik dari segi makna maupun tanda yang erat kaitannya dengan interpretasi mengenai nilai guna dalam arsitektur.
II. PANOPTISME
II. 1 Konsep Panopticon Dalam Semangat Utilitarianisme
Panopticon - sebuah gagasan dalam desain arsitektural untuk sebuah penjara empat lantai dengan bentuk sel yang melingkar sekaligus memusat terhadap sebuah menara kontrol yang diajukan pertama kali pada tahun 1787 oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Konsep utama dari desain penjara ini adalah efisiensi dan optimasi pengawasan searah (dari ruang kontrol terhadap sel) yang diterjemahkan secara pragmatis dalam arsitektur penjara. Sesuai dengan latar belakang Bentham sebagai seorang ahli hukum dan politik sekaligus juga sebagai seorang filsuf (dan arsitek) penganut Utilitarianisme - sebuah pemikiran yang menggali hakekat kebenaran dari nilai guna - konsep Panopticon ini dengan jelas memperlihatkan nilai guna dari hukum yang direpresentasikan secara pragmatis dalam arsitektur penjara. Desain selanjutnya muncul pada tahu 1791 dengan bentuk yang relatif sama dan hanya memiliki perbedaan yang signifikan dalam jumlah lantai, dimana desain yang terakhir ini memiliki enam lantai. Model Panopticon ini kemudian menjadi salah satu dasar dari berbagai bentuk serta model penjara yang muncul selanjutnya termasuk dalam varian-varian kombinasinya.
Berlawanan dengan konsep penjara bawah tanah yang gelap dan tersembunyi yang banyak dipakai pada masa tersebut dan sebelumnya, konsep panopticon justru mengedepankan kemungkinan individu (tahanan) untuk terlihat setiap waktu pada posisinya oleh pengamat yang berada dalam menara pengawas. Konsep ini diperkuat dengan pemakaian unsur cahaya yang digunakan Bentham dalam desainnya sebagai sebuah elemen kontrol visual dengan menggunakan sistem sinar balik - bayangan individu (tahanan) dapat memberikan indikator pertama bagi pengawas. Sehingga melalui mekanisme seperti itu pengawas dapat terus menerus melakukan pengawasan terhadap individu-individu dan tanpa pernah individu-individu tersebut merasa diawasi (karena persepsi pengawasan yang permanen) dan balik mengawasi.
Penghuni Panopticon (tahanan) dipantau tanpa ia sendiri tahu siapa yang mengawasi dan dalam bentuk bagaimana ia diawasi.
II. 2 Panoptisme Sebagai Sistem Kuasa dan Kontrol
Yang dimaksud dengan Panoptisme menurut Michel Foucault adalah suatu model penerapan teknik disiplin -baik metode maupun sarana-sarananya - yang keras dan ketat menurut model arsitektural Panopticon gagasan Jeremy Bentham. Istilah Panoptisme tersebut digunakan dalam membaca (mengkritik) keberadaan sistem kendali ketat dan penuh terhadap tubuh atau individu yang diterapkan pada fungsi penjara, sekolah, tempat kerja dan rumah sakit -termasuk secara arsitektur- dalam bagian ketiga buku 'Discipline and Punish - The birth of prison' yang pertamakali ditulis dalam teks Perancis pada tahun 1975 dengan judul 'Surveiller et Punir - Naissance de la Prison' . Untuk selanjutnya istilah Panoptisme dapat diartikan sebagai sebuah bentuk pemahaman dan pemikiran yang mengutamakan penyebaran pengendalian dan kontrol ketat yang bersumber dari pusat kekuasaan (dalam pembagian ruang-ruang fisik maupun non fisik), termasuk hegemoni dalam hirarki masyarakat yang digunakan dengan alasan untuk pencapaian tujuan utama dalam hidup bermasyarakat termasuk didalamnya ketertiban hukum dan disiplin.
Dampak utama dari panoptisme menurut Foucault adalah bahwa kuasa berfungsi secara otomatis, artinya dalam panoptisme individu-individu yang tinggal dalam berbagai fungsi institusional senantiasa menjadi sadar bahwa dirinya terus menerus diawasi sehingga mereka pada akhirnya menaruh beban maupun tekanan pada dirinya sendiri. Sebagaimana prinsip 'visible' dan 'inveryfiable' dari Panopticon, individu senantiasa diposisikan dalam pemantauan tetap (permanen) dan individu tidak pernah tahu kapan saja dan oleh siapa saja ia diawasi, kecuali ia sendiri tahu dan bisa memastikan bahwa ia diawasi terus-menerus. Dengan demikian Panoptisme ini menampilkan ketidaksimetrisan (irreversible) kekuasaan tanpa mempertunjukan eksesifitas kekuasaan itu sendiri secara langsung - misalnya parade maupun defile seperti yang dilakukan dalam institusi kemiliteran.
Pembagian maupun pembatasan 'ruang-ruang' tubuh maupun individu (fisik maupun non-fisik) utamanya dalam konteks komunikasi di dalam penyelenggaraan institusional yang panoptik disini, dibaca sebagai sebuah usaha untuk melenyapkan 'kekacauan' yang mungkin terjadi yang diakibatkan oleh obyek Panoptisme itu sendiri. Panoptisme dimaksudkan sebagai sebuah model usaha dari fungsi institusional yang menentukan relasi-relasi kuasa di dalam kehidupan sehari-hari setiap individu, diantaranya adalah melalui penyebaran dalam ruang-ruang spasial. Sehingga dengan demikian Panoptisme menjadi sebuah bentuk teknologi politis yang harus dilepaskan dari penggunaan yang tendensius.
II.3. Panoptisme Dalam Arsitektur : Arsitektur Sebagai Media Kuasa Melalui Tipe dan Program
Panoptisme dapat dikatakan sebagai bentuk sinergi maupun relasi yang bertujuan menerapkan fungsi kontrol secara ketat dari realitas sistem (sosial, hukum, politik, ekonomi) dalam realitas fisik (arsitektur). Thomas A. Markus menggambarkan bahwa pada kenyataannya arsitektur (ruang dan bentuk) telah secara sadar maupun tidak telah mempengaruhi keberadaan individu dan masyarakat sebagai sebuah pencerminan kekuasaan sistem kontrol maupun pengendalian dari pihak-pihak tertentu. Kekuasaan yang muncul tersebut bisa disadari maupun tidak, telah menjalar termasuk dalam atau melalui arsitektur. Dalam hal ini bentuk kekuasaan dalam arsitektur bisa dibaca sebagai sebuah pengendalian terhadap pengguna arsitektur sebagai pihak yang terlibat dalam sebuah sistem - kekuasaan dalam arsitektur. Pihak-pihak ini bisa dilihat pada posisi radikalnya sebagai tahanan, biarawan, bahkan hingga pengunjung museum atau orang-orang yang berbelanja pada sebuah gedung tertentu. Secara sederhana, Markus menggambarkannya dengan sebuah skema yang terdiri dari empat buah konfigurasi denah dari empat tipe denah yang sama - bujur sangkar dengan modul ruang tiga kali tiga. Namun Markus memberikan bukaan yang masing-masing berbeda sehingga sebuah ruang yang sama dari masing-masing konfigurasi memiliki kedudukan ataupun hirarki yang berbeda dalam konteks pengendalian maupun aksesibilitas.
Panoptisme dalam arsitektur berangkat dari motif dengan kesadaran penuh (concious) maupun tanpa sadar (unconcious) dari pihak yang memiliki kekuasaan maupun kontrol atas ruang-ruang maupun bentuk yang tersebar. Artinya sebuah relasi sistem dengan realitas fisik arsitektur yang panoptik dalam kondisi sadar (concious) bisa dinyatakan dalam fungsi penjara, rumah sakit, rumah sakit jiwa, barak militer dan lain-lain. Kesadaran terhadap kebutuhan maupun penerapan panoptisme dimungkinkan karena karakteristik fungsi yang memerlukan sistem pengawasan ketat dimana fungsi memiliki relasi maupun indikasi dengan masalah maupun isu yang menjadi prioritas dari fungsi tersebut (keamanan, kesehatan dan lain-lain dalam konteks mempertahankan hidup).
Dalam kondisi penerapan panoptisme tanpa sadar (unconcious) pada arsitektur, keperluan terhadap sistem pengawasan ketat (eksesif) seharusnya bukan menjadi prioritas lagi karena hal ini dimungkinkan adanya hakekat dari fungsi itu sendiri sebagai sebuah prioritas yang seharusnya terlebih dahulu direspon termasuk oleh arsitektur. Keberadaan serta realitas panoptisme yang (akhirnya) menjadi prioritas utama secara institusional (sosial, politik maupun ekonomi) dan secara arsitektural (fisik) lebih dimungkinkan karena berbagai alasan diantaranya feodalisme kultur, ideologi maupun kepentingan sepihak. Contoh yang jelas adalah fungsi sekolah, dalam sebuah fungsi sekolah hakekat utama bukanlah pengawasan dan disiplin yang dinyatakan melalui keseragaman baik tindakan maupun aksesori (visual) dan penempatan ruang-ruang kontrol (ruang guru, ruang administrasi, piket serta ruang bersama) terhadap ruang-ruang kelas yang berjajar maupun memusat, tetapi yang diutamakan adalah hakekat dari fungsi sekolah sebagai fungsi pendidikan dan pembelajaran dimana selain sebagai ruang maupun tempat terjadinya proses alih ilmu pengetahuan adalah juga sebagai ruang dan tempat pembelajaran budi pekerti dalam konteks besar pencerdasan kehidupan manusia, selain sebagai model dari sosialitas. Kondisi demikian terjadi secara kritis utamanya dalam paras sekolah menengah, baik yang dikelola pemerintah maupun swasta. Sedangkan ruang dan tempat terjadinya panoptisme secara unconcious yang lain dan cenderung eksesif adalah fungsi kantor, pabrik, lingkungan perumahan hingga fungsi
Pelibatan atau tendensi kekuasaan dan kontrol dalam arsitektur seperti yang telah diuraikan memiliki dimensi yang tersembunyi pada paras awalnya yang kemudian akan terasa hadir bila tendensi tersebut terwujud secara langsung maupun tidak dalam sebuah desain. Secara sederhana seperti yang telah digambarkan oleh Markus, bagaimana sebuah fungsi museum didesain sedemikian rupa untuk menghadirkan pengalaman apresiatif terhadap pengunjung akan benda maupun obyek yang dipamerkannya, tetapi yang menjadi sorotan Markus adalah ketika unsur ‘paksaan’ terhadap pengguna (pengunjung) muncul dalam sebuah desain museum melalui sekuen-sekuen yang telah ditetapkan dan serial koridor maupun galeri. Lanjut Markus, tendensi seperti itulah yang bisa muncul dalam tipe (tipologi) desain museum yang muncul dalam program yang disusun sebelumnya. Contoh seperti itu terulang dengan jelas pada sebuah kawasan perbelanjaan dan termasuk fungsi pendidikan.
Apa yang diungkapkan Markus adalah bentuk tendensi maupun agenda yang muncul secara langsung pada program dan seringkali tidak terasa dan secara langsung dianggap sebagai sebuah tuntutan fungsional. Tetapi yang menjadi pertanyaan apakah desain museum harus selalu seperti itu ? selalu terpaku kepada program tertentu dan menghasilkan bentuk (tipe) tertentu juga ?
Dalam konteks diatas, apa yang menjadi tendensi maupun usungan (muatan, agenda) adalah bentuk-bentuk yang secara umum hadir berkaitan dengan fungsi dalam perspektif (paham, mazhab) tertentu baik disadari maupun tidak sehingga meskipun terdapat tendensi, kesetaraan fungsional dan bentuk dalam arsitektur masih dapat terlihat. Lebih jauh lagi adalah ketika muncul tendensi maupun usungan yang tidak memiliki kaitan sama sekali dengan arsitektur, sehingga bukan kesetaraan yang muncul melainkan pemboncengan arsitektur. Contohnya adalah bagaimana sebuah sistem politik pada suatu masa mempengaruhi arsitektur pada masa itu.
Dari semua uraian mengenai ranah arsitektur yang memiliki potensi besar untuk dimuati oleh kekuatan lain diluar arsitektur dapat disimpulkan bahwa prosedur programatik memiliki kecenderungan terbesar termasuk ketika tuntutan akan bentuk juga hadir menyertainya atau sebagai produk akhirnya. Dengan kata lain posisional antara programatik serta tipe tidaklah selalu saling berkaitan dan beriringan, suatu waktu bisa saja tipe dan bentuk menjadi tututan utama yang pada kahirnya mendikte atau bahkan meniadakan program itu sendiri.
II.4. Panoptisme Dalam Arsitektur Institusional Sebagai Salah Satu Bentuk Dominasi Rasio Terhadap Tubuh, Roh dan Ruang.
Penguasaan ruang obyektif (modernisasi arsitektur dan bukan arsitektur modern) mengalami penguatan seiring ketika arsitektur itu sendiri dilembagakan sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan. Walaupun secara epistemologi arsitektur termasuk ilmu pengetahuan terapan - ilmu turunan dari ilmu murni (sains) - arsitektur terjebak ke dalam epistemologi ilmu pengetahuan yang cenderung mengklasifkasikan dan memilah obyek yang akan dipelajari dalam determinasi dan reduksi. Hal ini berkembang pesat pada ilmu mengenai arsitektur pasca Beaux Arts dan Bauhaus (arsitektur modern). Louis Kahn -sebagai seorang tokoh modern dalam arsitektur - menyatakan bahwa arsitektur adalah mengenai perubahan ruang dari tak terukur menjadi terukur, pernyataan yang cenderung memposisikan diri dalam wilayah Newtonian dan sangat kental dengan semangat sains-modern yang sangat rasional . Pembelajaran arsitektur dalam sebuah lembaga diarahkan berdasarkan ideologi-ideologi yang berpengaruh pada waktu tersebut, termasuk ketika arsitektur modern berkembang pada saat yang bersamaan dengan pesatnya perkembangan sains (awal abd XX). Sebagaimana layaknya sains yang bekerja pada wilayah empiris, rasional dan positivis -dimana segala sesuatu yang menjadi obyek sains harus bisa dibuktikan- arsitektur modern berangkat dari rasionalisasi ruang obyektif , baik terhadap nilai guna, pengguna hingga estetika. Dari kecenderungan tersebut nilai guna (fungsi), pengguna (tubuh dan persepsi) dan estetika (seni dan keindahan) dicoba dikonversikan dalam sebuah nilai formal bahkan sistem nilai ukur – Golden Section, Modulor dll. Bahkan kondisi ini diperkuat dengan semangat urilitarian dari sebuah obyek pakai dalam hal ini ruang arsitektur. Artinya dalam konteks ini tubuh hanya dilihat dari perspektif kebutuhan terhadap ruang arsitektur secara naïf dan pragmatik, dan tentunya bila ditinjau dari sudut pandang estetika bagaimanapun nilai guna dari seni adalah tidak bisa terukur. Rasionalisasi dengan nilai ukur tersebut secara langsung menempatkan tubuh maupun estetika dalam posisi yang sudah 'terbakukan' sekaligus dalam bentuknya yang solid dan permanen. Dan dengan rasionalisasi tubuh termasuk roh, ruang telah sekaligus mengkondisikan tubuh dan roh sebagai bentuk yang pasif dan lemah (docile bodies and spirits).
Tidak sampai disini penguasaan tubuh oleh ruang dalam arsitektur modern. Pada tahapan selanjutnya penguasaan tersebut (dibaca sebagai hegemoni akal-pikiran atau kesadaran/rasio Cartesian) semakin dilembagakan dalam bentuk metoda-metoda atau cara berpikir kaum modern dalam mengembangkan dan menyelesaikan permasalahan dalam desain arsitektur, termasuk dibakukan dalam pengajaran-pengajaran di institusi resmi. Metoda maupun teori mengenai tipologi ataupun programatik bisa dibaca sebagai sebuah bentuk rasionalisasi ruang tubuh dan roh maupun tubuh ruang dan roh dalam arsitektur. Artinya dengan tipologi, tubuh secara langsung dipetakan dan direduksi dalam arsitektur, diklasifikasikan atau dikelompokan menurut jenis kegiatan, aktifitas maupun keberadaannya. Hal tersebut juga bisa dilihat dalam programatik dalam artiannya yang konvensional. Dalam programatik tubuh juga dipetakan, diramalkan sekaligus direduksi melalui perkiraan-perkiraan (determinasi) kegiatan maupun fungsi aktifitas bahkan hingga dilakukan pendekatan sampai nilai ukur atau dimensi. Bagaimana keberadaan tubuh (dan roh) pada akhirnya bisa diukur dalam satuan nilai ukur ? Bagaimana modul bisa lahir kemudian untuk menyediakan ruang bagi tubuh termasuk roh? dan bagaimana tipe maupun bentuk bisa muncul begitu saja atasnama estetika tertentu? Mungkin inilah sebagian pertanyaan kritis terhadap rasionalisasi ruang utamanya terhadap tubuh yang terjadi dalam arsitektur.
III. EKUILIBRASI
III. 1. Ontologi Ruang Fenomenologis - Sebagai Alternatif Ruang Obyektif
Selain Heidegger muncul pula Gaston Bachelard - seorang filsuf, ahli sejarah sains dan psikoanalis Perancis (1884 - 1962) - yang menekankan pada konsep, sistem dan struktur dari ruang pada kehidupan keseharian sebagai refleksi tentang dunia. Konsepsinya mengenai Inner Space mengetengahkan betapa pentingnya peran serta nilai ruang dalam (baca : fungsi rumah - arsitektur) baik dalam kesatuannya maupun kompleksitasnya yang bisa menghadirkan sebuah nilai dasar bagi kehidupan. Dalam bagian lain dari Poetic of Space, ia menyatakan persepsi akan kemapanan bisa hadir dari keberadaan ruang dalam (rumah) baik keberadaannya secara vertikal maupun secara konsentris yang menurutnya pula dapat menghadirkan kesadaran bagi individu . Dengan kata lain kekuatan ide Bachelard adalah pada daya imajinasi yang ia sebut dengan surrationalism, contohnya seperti yang telah disebut, konsepsi rumah bukanlah hanya sekedar konsepsi Cartesian dengan batasan-batasannya (dinding, atap dan lantai), melainkan terdapat 'sesuatu' diatas itu semua - terdapat sebuah kondisi pemaknaan perseptual dan juga spiritual.
Begitu pula kritik Sartre mengenai posisi subyek-obyek dalam kaitan antara tubuh sebagai obyek dan ruang obyektif sebagai implementasi kesadaran sebagai obyek. Adalah konsep Practico-innert Field (keterasingan dari kebebasan) dalam hubungan serialitas; dimana dalam relasi subyek obyek baik dalam tataran komunikasi maupun lainnya sering terjadi kecenderungan generalisasi atau determinasi subyek terhadap obyek ataupun disposisi subyek terhadap obyek (kesadaran terhadap tubuh) sebagai sebuah warisan dari rasionalisme yang sudah mengakar. Dimana arsitek(tur) selama ini, mengenyampingkan tubuh (user-pengguna) sebagai yang lain dari dirinya. Yang dimaksud oleh Sartre bisa dibaca dan diberikan contoh dalam konteks ketika arsitektur menerapkan metode maupun teori mengenai tipologi maupun programatik dalam tataran praksis arsitektur sebagai sebuah bentuk determinasi.
Kemudian Maurice Marleau-Ponty mencoba menjadikan pengalaman ruang termasuk didalamnya pengalaman mengenai warna dan cahaya sebagai struktur pembentuk persepsi individu lewat konsep intentional space. Sehingga dalam pengertian ini betapa besarnya arti ruang dan bentuk dalam perjalanan serta perkembangan kejiwaan, diri serta tubuh manusia. Melalui intensionalisasi ini Merleau-Ponty secara langsung mengajak kita untuk mendayagunakan tubuh (indera) termasuk dalam relasinya dengan akal dalam membangun persepsi terhadap eksistensi 'ruang' kehidupan –dunia, lebbenswelt.
Sementara Foucault melihat kekuasaan dari sudut pandang relasionalnya, dan bagi Foucault kuasa terhadap tubuh ternyata tidak hanya kuasa politis dan ekonomis yang terstruktur melainkan terdapat bentuk-bentuk kuasa imajiner yang ia sebut dengan micropower. Konsep ini bagi Foucault sangat berguna dalam menerangkan kuasa-kuasa abstrak terhadap tubuh termasuk didalamnya relasional tubuh dengan tubuh lainnya dalam ruang-ruang antropologis maupun ruang keseharian.
Konsepsi-konsepsi modern akan ruang yang 'statik' dalam pengertian dasarnya, mengalami berbagai resistensi yang kuat. Seperti yang telah disebutkan masa-masa transisional telah memberikan ciri-ciri yang sangat kuat tentang perluasan konsepsi ke-ruang-an, khususnya dalam arsitektur. Foucault dan Lefebvre mencoba mengetengahkan konsepsi-konsepsi baru mengenai thirdspace, dalam pengertian pembentukan serta pemaknaan akan ruang . Lefebvre mencoba melakukan resistensi terhadap posisi binari dari 'ruang-ruang' sosial yang terbentuk, utamanya seperti yang dikemukakan oleh Marx melalui konsep pertentangan kelas yang diutarakan dengan sistem oposisi biner . Bagi Lefebvre terdapat 'bentuk ketiga' dalam realitas serta bentukan ruang-ruang (sosial-kemasyarakatan dan ruang obyektif) secara biner, faktor ketiga itu adalah moment, momen disini memiliki pengertian lebih dari sekedar sintesa ataupun konsep in between, melainkan konsep 'ruang ketiga' ini dimaksudkan sebagai sebuah faktor katalis, perubah atau bahkan secara radikal mengacak serta menghancurkan dari keseluruhan konsepsi biner mengenai keberadaan ruang (sosial dan fisik). Lefebvre mengemukakan bahwa 'ruang' dalam arsitektur selama ini terbentuk oleh adanya gambaran maupun persepsi dari sang subyek (arsitek-modernisme-fetish) dan bukannya dari realitas ruang-ruang sosial , sehingga yang terjadi adalah representasi kebenaran yang bukan muncul dari pengalaman keseharian, dan akhirnya kebenaran tersebut cenderung telah menjadi ideologi dalam pembentukan ruang . Singkatnya menurut Lefebvre, seharusnya ruang-ruang justru diproduksi tubuh yang memiliki atau mengalami momentum.
Sementara itu Foucault lewat heterotopian space mencoba mengungkapkan bahwa ruang merupakan wilayah batas atau demarkasi yang secara institusional dibentuk, ditetapkan dan dibuat lewat struktur kekuasaan (sosial, ekonomi maupun politik) . Lebih jelas lagi Foucault mengemukakan bahwa konsepsi heterotopias telah berlangsung dari masa primitif lewat kekuasaan adat/tradisi hingga pada realitas kekinian lewat kuasa formal. Ruang-ruang yang memiliki batasan seperti profan-sakral adalah konsepsi mengenai heterotopia pada masa primitif sedangkan untuk memberikan contoh pada konteks kekinian Foucault memberikan contoh bagi ruang heterotopian dengan ruang-ruang institusional yang radikal seperti rumah sakit dan penjara . Sehingga pada intinya Foucault berpendapat bahwa pola-pola produksi dalam dan terhadap ruang akan menjadi paradigma utama dalam memahami kondisi peradaban manusia. Hal tersebut dikarenakan tubuh masih menjadi isu utama dari apa yang dinyatakan oleh Foucault. Intinya tubuh mengalami represi dari berbagai sudut.
Dengan adanya pendapat-pendapat diatas membuktikan bahwa betapa halus atau bahkan bisa dikatakan tidak terdapat batasan yang kuat antara keberadaan ruang arsitektur dengan ruang-ruang dalam konteks lainnya dalam pengertian kuasa ruang (sebagai perpanjangan kuasa yang lain) telah membentuk tentakel-tentakel yang mengekang tubuh termasuk roh.
III.2. Fenomenologi Dalam Arsitektur : Relasi Tubuh - Roh dengan Ruang dan Tempat
Hegemoni rasio dalam modernisme telah menjadikan keberadaan modernisme (khususnya arsitektur, sehingga pembelaan bahwa arsitektur modern tidaklah melupakan sejarah justru harus dilihat sebagai bentuk abstraksi terhadap sejarah tidaklah cukup) menjadi timpang dalam konteks tujuan humanisasinya.. Berbagai kritik tajam dialamatkan kepada gerakan modernisme, mulai dari tataran filsafat-sosiologis seperti kritisi dari
Dalam konteks arsitektur, telaah fenomenologis memunculkan nama-nama seperti Schulz, Lefebvre hingga Tschumi. Pada intinya pandangan fenomenologis dalam arsitektur melihat potensi pada bagian lain dari individu selain rasio yang diprioritaskan selama ini ; yaitu tubuh. Yang menjadi sorotan utama adalah mengenai tubuh dalam relasinya dengan ruang sebagai domain asal atau rujukan dari nilai guna. Seperti diketahui keberadaan tubuh telah mengalami pergunjingan berabad-abad. Kecenderungan Cartesian yang menganggap tubuh sebagai obyek dari hegemoni pikiran mengalami perubahan secara fenomenologis menjadi pelaku dengan relasi nir-hirarki. Sehingga secara umum dalam konteks akomodasi terdapat wacana materialitas logika antara tubuh dan ruang yang bisa menyebabkan kompleksitas pemahaman terhadap 'ruang dari tubuh' dan 'tubuh dari ruang'. Dalam pemahaman yang lebih jauh lagi bisa dikatakan pemahaman akan ruang (termasuk bentuk) bukanlah semata proyeksi tiga dimensional yang sederhana dari representasi mental, sehingga dibutuhkan semacam silang inderawi (sense crossing) dalam pemahamannya - bagaimana kita melihat bunyi, mendengar warna, mencium rasa atau mengecap harum bunga. Disamping itu ruang yang terdefinisi utamanya melalui moment dan pergerakan ( Lissitzky ; ruang-waktu irrasional / empat dimensional) adalah sebuah bentuk penjelasan antara ruang-ruang inderawi dengan ruang-ruang kemasyarakatan -ruang kinematis.
Pendapat ini bisa menghasilkan premis lanjutan bahwasannya tubuh tidak hanya bergerak melainkan lebih daripada itu, ia memicu produksi ruang lewat pergerakannya. Sehingga pergerakan adalah sebuah intrusi event/moment kedalam ruang arsitektur dan pembacaan terhadap event ini diwujudkan dalam skenario ataupun program tentang ruang sebagai bentuk batas dalam arsitektur, dimana pemenuhan ketiadaan fungsional adalah berdiri sendiri tetapi tidak dapat dipisahkan dari ruang yang melingkupinya. Pendapat ini berkembang dari konsep Aristoteles mengenai ruang pelingkup hingga konsep Christian Norberg Schulz mengenai konsep ruang (space) yang berkembang menjadi tempat (place) ketika tubuh berkorelasi dengan ruang (dan dunia).
Dalam artian lain konsepsi mengenai ruang menjadi tidak bermakna bila tidak ada tubuh sebagaimana konsepsi Schulz tadi mengenai 'ruang' dan 'tempat' atau konsepsi Lefebvre mengenai tubuh yang memproduksi ruang. Begitu pula pendapat Foucault mengenai heterotopias dalam kaitan antara ruang-waktu dan tubuh ; tubuh dalam memahami 'ruang yang menguasai waktu' maupun 'waktu yang menguasai ruang' yang berangkat dari 'ruang-waktu yang menguasai tubuh' dalam kaitannya dengan pembentukan ruang-ruang suci/terlarang dalam pemahaman tradisonal. Tetapi yang menarik adalah konsepsi yang dipertegas disini bukanlah dalam prioritas ruang melainkan programatik ruang dalam batasannya menyangkut fungsi yang berkorelasi dengan event - contoh ruang makan ditentukan sebagai 'fungsi' dalam arsitektur tetapi makan pada dasarnya bisa dimana saja, program tidak bergantung terhadap ruang - programatik tidak berkorelasi dengan tipe .
III. 3. Roh yang Tergugah dan Tubuh yang Emansipatoris Versus Kekuasaan Dalam Ruang Arsitektur
Dalam konteks micropower atau relasi kekuasaan yang terjalin dalam individu, terutama melalui pembagian spasial seperti yang telah diajukan oleh Foucault, konsep-konsep mengenai pembebasan maupun kebebasan individu menjadi isu utama. Artinya individu yang selama ini hanya dimungkinkan berpikir melalui emansipatoris pikiran walaupun secara tubuh terbelenggu kini ditawarkan untuk melepaskan tubuhnya dari 'belenggu-belenggu' kuasa yang mencengkeram, baik itu kuasa dalam wilayah sosial, politik, ekonomi hingga arsitektur. Pelepasan tubuh dalam konteks arsitektur bisa diartikan sebagai pelepasan tubuh dari determinasi ruang-ruang arsitektural yang melingkupinya melalui pembagian ruang spasial secara ketat berdasarkan programatik yang ketat pula. Artinya kuasa ruang terhadap tubuh (tubuh sebagai obyek) bisa dilihat menjadi kuasa tubuh terhadap ruang (tubuh sebagai subyek) tanpa mungkin mengedepankan permanensi atau disposisi statis-nya . Atau justru kata permanent atau disposisi tersebut digunakan dan diartikan secara lain ; tubuh adalah penentu permanensi ruang lewat momentum maupun event. Sehingga tubuh-lah yang akhirnya memproduksi ruang melalui aktifitas maupun peristiwa seperti yang dinyatakan oleh Lefebvre dan Tschumi melalui Architecture as Event, sehingga bisa dikatakan tubuhlah yang melahirkan arsitektur dan bukanlah fungsi melalui programatikanya yang diterjemahkan dalam bentuk . Konsep-konsep seperti inilah yang dikembangkan Tschumi lewat foolie atau wahana yang terdapat pada Parc de la Villette, dimana Tschumi hanya menempatkan ruang-ruang kosong tanpa nama dan fungsi untuk kemudian fungsi dengan sendirinya terjadi atau dengan kata lain Tschumi hanya membentuk ruang dengan definisi materialitas ruang untuk kemudian diproduksi menjadi arsitektur lewat tubuh dan peristiwa menjadi sebuah tempat (place). Sehingga pada akhirnya tubuh dibebaskan dari kuasa relasional individu lain hingga kuasa arsitektur melalui definisi ruang menjadi tubuh yang emansipatoris.
Dalam perspektif fenomenologis pandangan seperti diatas merupakan turunan dan merupakan tujuan. Sehingga tubuh yang emansipatoris tadi mampu berelasi dengan ruang arsitektur dan memproduksi tempat - produksi arsitektur. Sebagaimana tubuh berelasi dengan ruang-ruang lain dan memproduksi tempat. Dalam konteks kekuasaan khususnya pada ruang-ruang arsitektur, fenomenologi melihat selama ini ruang arsitektur yang terdefinisi sebelum produksi tempat terjadi cenderung membelenggu. Seperti contoh bagaimana sebuah ruang arsitektur dikatakan sebagai ruang tidur - tempat tubuh untuk tidur. Definisi berlaku ketika tubuh mengalami tidur, tetapi ketika tubuh melepaskan diri dari tidur atau bahkan dari ruang tidur tadi apakah ruang dikatakan ruang tidur atau tempat untuk tidur ? Contoh lain adalah sebuah kamar kost mahasiswa seharusnya tidaklah didefinisikan sebagai ruang tidur karena peristiwa yang terjadi dalam kamar kost sebagai ruang arsitektur bisa beragam, mulai dari tidur, makan, bekerja, bersosialisasi, hiburan dan lain-lain. Dengan demikian jelas terlihat emansipasi tubuh dalam 'berperistiwa' tanpa harus dikekang dengan kuasa ruang maupun kuasa nilai lewat definisi.